Penetrasi Islam Jawa

Muhammad Ngafifudin Yahya


Manusia adalah makhluk yang berbudaya. Artinya, ia selalu mengolah diri dan lingkungannya dalam perjalanan kehidupannya dan dalam menjalani kehidupannya. Manusia harus belajar banyak untuk dapat hidup layak. Ini mesti mewarisi banyak hal dari generasi-generasi yang datang sebelum dirinya, seperti cara bekerja, adab sopan santun, cara memelihara diri, dan menghadapi persoalan. Walaupun seorang anak manusia mempunyai ruang bebas yang cukup luas untuk menemukan diri sendiri hal-hal yang belum diketahuinya, ia mesti menempatkan diri dan temuannya dalam kerangka budaya yang diwarisinya. 

Agama, sebagai sesuatu yang lekat dengan manusia pun, tidak berbeda keadaannya: mesti dijalani dan dipahami dengan kerangka budaya. tidak ada satupun agama yang bebas dari tradisi panjang yang dihasilkan oleh bangsa atau masyarakat yang warganya menjadi pemeluknya. Karena itu, islam yang dipahami dan dijalankan oleh orang jawa (setidaknya pada tataran praktis) tidak sama dengan islam yang dipahami dan dihayati oleh orang sunda. Lalu, dalam wilayah yang lebih luas, islam yang dihayati orang-orang di Timur Tengah, sampai batas tertentu, berbeda dengan islam yang dihayati bangsa Indonesia.  Memang benar terdapat persamaan dalam kesemua variasi islam itu (terutama pada prinsip-prinsip dasarnya) namun dalam praktik terdapat banyak variasi.

Agama adalah suatu yang berkembang, sesuai dengan perkembangan pemeluknya, sedangkan setiap pemeluk mempunyai tradisi budaya yang diwarisi dan dikembangkan juga dari generasi ke generasi. Dalam perkembangan itu selalu tejadi interaksi antara keyakinan kagamaan dan ajaran-ajarannya (yang sering dianggap suci) dan kreatifitas manusia serta budayanya yang dianggap profan (tidak bertujuan atau bersangkutan dengan agama). Dalam perkembangannya, islam pun berinteraksi dengan tradisi bangsa-bangsa yang memeluknya dan menyerap unsur-unsur budaya lokal yang dilewatinya.[1]

Sesuai dengan pendapat tersebut maka sikap plural perlu ada dalam diri pribadi. Pluralisme harus disertai dengan kesadaran teologi bahwa kehidupan, terutama kehidupan agama ini memang plural dan itu adalah kehendak Allah SWT. Pluralisme adalah hukum Allah SWT (sunnatullah), seperti yang terdapat pada surat Al Maidah ayat 48 “likullin ja’alna minkum syir’atan waminhaja”. Artinya: “untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang”. Kemudian Allah SWT menegaskan bentuk pluralisme itu dalam Q.S. Al Syura ayat 8: “walau sya’ Allahu laja’alakum ummatan wahidatan  yukhilu man yasyau fi rahmatihi”. Artinya: “dan jika Allah SWT menghendaki niscaya Allah SWT akan menjadikan mereka satu umat (saja), tetapi Dia memasukkan orang-orang yang dikehendaki-Nya kedalam rahmat-Nya”. Kemudian dalam surat Al Maidah ayat 48: “walau sya-Allahu laja’alakum ummatan wahidatan walakin liyabluwakum fi ma atakum fastabuiqu al-khairat”. Artinya: sekiranya Allah SWT menghendaki niscaya kamu jadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah SWT hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah dalam hal kebaikan”. Jadi, Allah SWT memang sengaja menjadikan kita bermacam-macam untuk menguji berkenan dengan apa yang dianugerahkan dan mempersilakan hambanya untuk berlomba-lomba dalam kebaikan.[2]

Kotagede
Kerajaan Mataram Islam berdiri di Yogyakarta dengan ibukotanya di Kotagede. Sebagai ibukota kerajaan, Kotagede menjadi aktivitas kehidupan, baik politik, ekonomi sosial, budaya dan agama. Hal ini dapat dilihat dari masa sekarang dimana Kotagede masih menjadi pusat ekonomi, khususnya kerajinan peraknya. Disamping itu nafas keagamaannya juga masih terasa. Dengan demikian, Kotagede dianggap sebagai kampung santri paling tua di Yogyakarta dari kampung santri lainnya, yaitu Mlangi, Wonokromo, Plosokuning, dan Dongkelan.

Secara historis, Kotagede pada umumnya bernama Hutan Mentaok. Hutan Mentaok adalah sebuah wilayah yang dihadiahkan oleh Sultan Hadiwijaya (Raja Pajang) kepada Ki Ageng Pemanahan. Hadiah ini sebagai timbal balik kepada Ki Ageng Pemanahan dalam menumpas Pemberontakan Arya Penangsang. Dari sinilah Hutan Mentaok mulai di babad dan dijadikan sebagai pemukiman. Pada perkembangan selanjutnya, daerah ini berubah menjadi pusat politik. Ki Ageng Pemanahan dan anaknya yakni Sutawijaya, dibantu kerabatnya yakni Ki Penjawi Menyusun kekuatan untuk melawan Pajang.

Setelah berhasil mengalahkan Pajang, maka pemerintahan berpindah ke Kotagede. Sutawijaya menjadi raja pertama dengan gelar Panembahan Senopati. Nama kerajaannyapun berubah menjadi Kerajaan Mataram dengan Kotagede sebagai ibukotanya. Sebagai ibukota Kerajaan Mataram, keberadaan komunitas muslim ditumbuhkembangkan. Hal ini memiliki tujuan politis, yang untuk mendapatkan legitimasi dari para ulama. Adanya dukungan dari para ulama, maka kedudukan sultan menjadi semakin kuat.

Berpindahnya pusat kerajaan kepedalaman menimbulkan corak baru terhadap ajaran islam. Masyarakat pedalaman kebanyakan sudah memiliki tradisi kejawen, yang merupakan manifestasi kepercayaan animisme-dinamisme dengan kepercayaan Hindu-Budha. Kenyataan ini menimbulkan dialektika antara ajaran islam disatu sisi,  dengan kejawen di sisi lain. dari dialog ini lahirlah apa yang disebut dengan sinkretisme dan akulturasi, dimana islam semakin menampakkan kejawennya.[3]

Sinkretisme ini tidak terlepas dari asal mula berdirinya Mataram Islam yang diakui oleh Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga digambarkan sebagai wali yang berusia lanjut dan mengalami perubahan sejak zaman Majapahit akhir, Demak, Pajang, hingga masa awal Mataram Islam. Sunan Kalijaga dianggap sebagai pelindung kerajaan Mataram Islam. Putra Sunan Kalijaga yang bernama Sunan Adi, menjadi penasihat ruhani penguasa Mataram Islam awal pemerintahan Panembahan Senapati. Dewasa ini, di daerah pedalaman jawa, keberadaan Sunan Kalijaga menjadi panutan kiblat para muslim tradisional yang memuliakan tidak saja makamnya, melainkan juga warisan nilai-nilai budaya dan ajaran ruhani (tarekat) yang ditinggalkannya.[4] Dan dua penguasa Mataram Islam adalah seorang mursyid (guru Tarekat), yaitu Panembahan Senapati dan Sultan Agung. Sultan Agung adalah pewaris kelima Tarekat Akmaliyah dari Panembahan Senapati-Sultan Hadiwijaya-Ki Kebo Kenanga-Syaikh Siti Jenar.[5] Apalagi Mataram Islam mendapatkan legitimasi kekuasaan lewat spiritual yang diperoleh dari Pajang dan juga dari Sunan Kalijaga dan keturunannya. Sehingga tidaklah mungkin jika para penguasa tidak mempunyai setrategi dan konsep islam untuk orang jawa di pedalaman.

Kita tahu bahwa dalam islam jawa ada empat derajat tingkatan tentang iman yaitu syariat-tarekat-hakikat-makrifat. Untuk mencapai makrifat tidak mungkin orang tidak tahun hakikat, dan seterusnya. Syariat adalah aturan atau hukum yang mengatur seluruh sendi kehidupan. Tarekat adalah jalan menuju orang bertaqwa, secara praktis adalah kumpulan amalan-amalan lahir dan batin untuk menuju orang yang bertaqwa. Hakikat adalah keyakinan bahwa semua bentuk gerak, diam, dan lainnya hakikatnya kakuasaan Allah SWT. Dan makrifat adalah perpaduan dari syariat-tariqat-makrifat yang nantinya menuju mengenal Allah SWT.

Sebagai pusat keagamaan, maka dibangunlah masjid keraton yang hingga kini masih kokoh berdiri. Namun masjid Kotagede sekarang merupakan hasil renovasi akibat kebakaran yang terjadi pada zaman pergerakan nasional. Sebagai masjid kraton, maka masjid Kotagede ini dilengkapi dengan bangunan-bangunan penunjang. Disebelah selatan masjid ada bangunan Selirang (dari kata Silir atau Sumilir). Tempat ini digunakan sebagai tempat pemandian para putra dan putri raja. Disebelah barat masjid terdapat makam dan disebelah baratnya lagi ada Sumber Kemuning. Sumber Kemuning Merupakan tempat pemandian bagi para priyayi Mataram.

Ketiga Kerajaan Mataram terpecah menjadi dua, yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, Kotagede tidak lagi menjadi pusat pemerintahan Mataram. Namun suasana Kotagede masih sama, yaitu menjadi pusat ekonomi dan agama. Perekonomian masyarakat ditopang oleh munculnya kerajinan perak yang kemudian menjadi Trade Mark Kotagede. Disamping itu muncul pula usaha konveksi, khususnya busana muslim. Dari sinilah warga Kotagede mencapai kemakmuran.

Dalam bidang keagamaan, Kotagede menjadi  pusat gerakan Muhammadiyah. Dan kota ini pula lahir tokoh-tokoh nasional seperti: KH. Abdul Kahar Mudzakkir (penandatanganan Piagam Jakarta), dan H.M. Rasyidi (Mentri Agama pertama RI). Di daerah ini pula pernah berdiri  Syarikatul Muhtadi yang dipimpin Kiyai Amir pada tahun 1912. Organisasi ini kemudian meleburkan diri ke Muhammadiyah. Meskipun Muhammadiyah mendominasi Kotagede, terdapat juga organisasi lain, yaitu Nahdlatul Ulama (NU). Organisasi ini eksis dan tumbuh bersama Muhammadiyah. Dari NU juga melahirkan beberapa tokoh yang berkontribusi terhadap pengembangan Kotagede sebagai kampung santri. Para ulama ini mendirikan pondok pesantren, diantaranya adalah KH. Azhar Marzuki mendirikan Pondok Pesantren Nurul Ummah.[6]

Organisasi Muhammadiyah pada umumnya adalah menghilangkan dari hal yang berbau mistis. Sehingga Muhammadiyah kering dari kebudayaan spiritual. Kebudayaan spiritual dalam pandangan gerakan Muhammadiyah karena pertimbangan tertentu sengaja dihilangkan, dalam Muhammadiyah tidak ada puji-pujian, berjanjen, manakiban, kebudayaan spiritual sengaja dihilangkan dari komunitas Muhammadiyah, sehingga agama terasa kering bagi masyarakat yang menghendaki paguyuban.

Namun masyarakat Kotagede merupakan penganut budaya yang kuat, sehingga budaya masih tetap dilaksanakan. Bahkan dalam penelitian Nasiwan seorang dosen di Universitas Negeri Yogyakarta menemukan adanya pembangkangan terselubung dari Muhammadiyah Kotagede terhadap keputusan tarjih, termasuk di dalamnya dalam mengadopsi budaya spiritual, yang sebenarnya tidak dibolehkan oleh perserikatan Muhammdiyah. Temuan Nasiwan yang dilakukan penelitian dilapangan juga membuktikan bahwa di Kecamatan Kotagede, muncul gejala MUJA (Muhammadiyah Jawa) atau MUJO (Muhammadiyah Jowo), di Kelurahan Prenggan maupun Purbayan, da’wah Muhammadiyah tetap masih mentolerir kebudayaan lokal dan spiritual, seperti misalnya yasinan, selametan untuk peringatan kematian, nyadran, masang kijing. Kelompok MUJO ini dalam istilah anthropologinya sering disebut dengan “sinkretisme” atapun the religion of Java.[7] ini merupakan sebuah kemajuan bagi masyarakat Kotagede yang menyatukan islam, barat, dan elemen india yaitu Hindu-Budha.
 


[1] Machasin, Islam Dinamis Islam Harmonis: Lokalitas, Pluralis, Terorisme, (Yogyakarta: LkiS, 2011), hlm 185-186.
[2] Imdadun Rahmat, Islam Pribumi: Mendialogkan Agama, Membaca Realitas, (Jakarta: Erlangga, 2003), hlm. 188.
[3] Imam Muhsin, Zuhrotul Latifah & Ali Sodiqin, Sejarah Islam Lokal, (Yogyakarta: Bidang Akademik, 2008), hlm. 5.
[4] Agus Sunyoto, Atlas Walisanga, (Bandung: iiman & LESBUMI, 2016), hlm. 279.
[5] Zainul Milal Bizawie, Laskar Ulama-Santri & Resolusi Jihad: Garda Depan Menegakkan Indonesia (1945-1949), (Tangerang: Pustaka Compass, 2014), hlm. 25.
[6] Ibid,. hlm. 6.
[7] Nasiwan, Transformasi Kebudayaan Islam di Kotagede, Yogyakarta, FIS, Universitas Negeri Yogyakarta, hlm. 7-8.

Komentar

Posting Komentar