Sejumlah mahasiswa yan mengatasnamakan dirinya ADU (Aliansi Darurat UNY) melakukan aksi teatrikal terkait krisis demokrasi dan adanya represifitas terhadap mahasiswa yang dilakukan oleh rektorat.
Entah, aku lupa kapan
tepatnya istilah “world class university” didengungkan, namun kurasa
semakin hari terdengar nyaring hingga memekikkan telinga. Sebuah
embel-embel yang sangat superior, terlebih dengan tambahan kata-kata,
“mewujudkan generasi Indonesia emas guna.. blablabla,” ahhh, lagian itu
juga sebuah kata basi yang banyak digunakan pada seminar-seminar
nasional yang luaran ril nya juga perlu dipertanyakan.
Kriteria World Class University atau WCU
seperti apa seketika muncul dalam pikiranku, mungkin juga teman-lawan
semua, terlebih tidak pernah disosialisasikan secara umum juga mengenai
kriteria WCU ini. Tetapi tenang kawan-lawan, setelah browsing sebentar,
aku mendapat sumber yang sangat menarik. Terlebih, yang menjabarkan
kriteria ini dari kampus kita tercinta sendiri, ciee tercinta. Baiklah,
berikut aku ulas beberapa point pentingnya, selengkapnya bisa kalian
akses nanti di lampiran bawah tulisan ini.
Ada 12 pokok Benchmark WCU;
- Melahirkan penelitian dan memiliki SDM (faculty) yang unggul
- Memiliki kebebasan dan atmosfer akademik yang kondusif
- Dikelola secara mandiri/Self Governance
- Memiliki fasilitas dan pendanaan yang memadai
- Mendukung keberagaman
- Melaksanakan internasionalisasi
- Memiliki kepemimpinan yang demokratis
- Memiliki mahasiswa yang berbakat
- Menggunakan ICT
- Menyelenggarakan pembelajaran yang berkualitas
- Menyapa kebutuhan masyarakat sosial
- Memiliki jaringan kerjasama internal dan eksternal yang kuat
dari 12 pokok benchmark WCU diatas, masih
dijabarkan pula sub-sub pokok dari masing-masing butir. Namun, aku
hanya akan mengkritisi point-point yang menurutku clash dengan praktik yang terjadi dalam kampus.
Poin pertama, ada 3 sub point yang aku tekankan,
– sekelompok faculty (dosen fakultas) yang unggul (excellent) sebagai fondamen universitas.
– sistem yang mampu melahirkan profesor-profesor berkelas dan mampu melahirkan otak-otak yang brillian
– pembelajaran yang sangat baik
WCU menuntut adanya dosen yang
berkualitas yang berfungsi sebagai pilar-pilar kokoh pembentuk
universitas kelas dunia. Namun, dalam perkuliahan yang sudah aku jalani
selama 3 semester, serta dosen-dosen pengajar yang itu-itu saja, bahkan
saling mengaver antara matkul satu dengan yang lain (give applause for
our teacher that have multi-talent teaching) terkesan belum maksimal
dalam memberi pengajaran di dalam kelas. Jangankan itu, merangsang
mahasiswanya untuk bergairah terhadap materi yang diajarkan saja sangat
minim. Ketika salah seorang temanku berusaha mengeksploitasi materi,
dosen terkesan cari aman dalam menjawab bahkan terkadang mencap apa yang
dipertanyakan sebagai out of topic.
Beberapa permasalahan di atas akan
merujuk pada sub point yang kedua, sistem yang digunakan dalam
pengajaran di kelas, bagaimana bisa melahirkan seorang yang memiliki
otak brilian bila dari pertanyaan saja sudah terkesan dibatasi bila
dosen merasa tidak capable dalam menjawabnya. Merambat ke sub point
ketiga, simpulkan sendiri wahai teman-lawan, apakah bisa diperolah hasil
pembelajaran yang baik?.
Poin kedua, mengenai kebebasan dan atmosfer yang diharuskan dalam kegiatan akademik. satu sub poin yang menyatakan,
– Kekebasan berbicara mendapat tempat yang kondusif
Bung! kakak tingkatku bahkan mengeluh
tentang ditolaknya sebuah seminar dan diskusi oleh kaprodi dengan alasan
berbahaya bagi perkembangan berpikir para mahasiswanya. Bukankah dalam
ruang akademik sebuah kajian pastinya bisa dipertanggungjawabkan dan
tidak terlepas dari keilmuannya, apalagi melenceng jauh menuju kesesatan
berpikir. Sebagai fasilitator, kampus seharusnya menjadi tempat yang
nyaman dalam mengembangkan dan membebaskan mahasiswanya mengkaji
keilmuan dengan catatan dapat dipertanggungjawabkan.
Loncat ke point kelima, mengenai mendukung keberagaman, ada 3 sub;
– Menjadi suatu lingkungan belajar di mana berbagai bidang ilmu pengetahuan dipelajari dan dihargai
– Mencakup bidang-bidang keilmuan yang bersifat dasar tradisional, kuno hingga disiplin ilmu baru
– Dosen dan mahasiswa harus memahami berbagai ragam budaya yang tumbuh di dunia
Pada sub point pertama kiranya hampir
sama dengan permasalahan yang aku jabarkan pada point sebelumnya, maka
yang perlu ditekankan pada poin ini adalah perkembangan keilmuan yang
diajarkan dalam kelas, karena secara gamblang dijelaskan dosen dan
mahasiswa mampu memahami dinamika ilmu dan budaya yang berkembang di
dunia. Stagnansi pengajaran materi kuliah masih sangat besar kurasa.
Meskipun program studi yang ku jalani adalah ilmu sejarah namun perlu
ada finishing mengenai aktualitas dari apa yang telah dipelajari, karena
masa sekarang adalah proyeksi yang berkembang dari sejarah itu sendiri.
Poin terakhir yang aku bahas adalah poin ketujuh, mengenai kepemimpinan yang demokratis dengan sub poin;
– Terbuka bagi persaingan staf maupun mahasiswa
– Bekerja sama dengan konstituen eksternal
Entah yang dimaksud dalam ‘persaingan’,
bersaing dalam kegiatan organisasi, politik, penelitian, maupun
akademik, terlepas dari itu perlu adanya komunikasi yang baik antara
mahasiswa dan birokrat karena mahasiswa mempunyai hak menyuarakan
pendapatnya bila ada sesuatu yang tidak beres dalam struktur, bukan
merepresi mahasiswa bila terjadi ketidaksesuaian pendapat, dan terkesan
tidak mau duduk bersama menyelesaikan masalah yang terjadi. Bila
mahasiswa tidak diberi ruang di dalam kehidupan berdinamikanya sendiri,
jangan salahkan mahasiswa bila terjadi aksi yang bapak ibu anggap
memalukan nama universitas.
Itu saja sih beberapa poin benchmark WCU
yang menurutku masih tidak sesuai dengan realitas dinamika yang terjadi
di dalam kampus. Bukan berarti poin-poin yang lain sudah beres, namun
diriku hanya mengungkapkan hal yang kalau kata Pak Agus dalam matkul
Teori Budaya “Empirik”.
Bila poin-poin diatas tidak kunjung
diperhatikan dan hanya memfokuskan pada peraihan prestasi belaka untuk
mengejar sebuah gelar “World Class University”, justru yang akan terjadi
adalah sebuah clash (ketidakcocokan / ketidakserasian) terhadap jati diri yang dibangun oleh universitas.
Sekali lagi, teman-lawanku, selamat berproses menuju “World Clash University”.
*Lampiran:
pernah dimuat di kemssa.wordpress.com
Komentar
Posting Komentar