Sanskerta Wacinwa (Wayang Cina Jawa)
“Barangkali akan tetap
menjadi rahasia, mengapa cinta, keyakinan, iman, dan sejarah masa lalu
kehilangan maknanya di perbatasan masa kini dan masa lalu.”
–Milan
Kundera
Secara tidak
langsung, Milan Kundera menyampaikan sesuatu yang barangkali kini benar adanya
–kehilangan maknanya di perbatasan masa
kini dan masa lalu. Sanskerta senantiasa mengumpulkan ihwal yang hilang
itu, secara perlahan, sedikit demi sedikit, melalui diskusi ringan dan santai,
dengan berbalut istilah rapat ala organisasi kebanyakan. Terus mencoba berdiri
di mana kami (anak-anak yang mengenyam bangku sejarah) harus tetap menjaga eksistensi.
Dan realitanya, mesti bersabar untuk menyatukan beberapa perbedaan mengenai
tema-tema yang semuanya menarik itu. Akan tetapi, perbedaan yang banyak muncul
itu lah yang menjadikan sanskerta tetap bernafas dan bertahan hidup di
tengah-tengah gelombang kemajuan yang hampir selurunya menutup kesadaran
tentang makna sejarah.
Beralih menuju topik yang akan kami
kupas di sini, dalam rubrik rekonstruksi ingin kami sampaikan sebagian kecil
yang bisa kami tulis soal kebudayaan yang pernah ada, Wayang Cina Jawa atau
singkatnya Wacinwa, di mana akulturasi menjadi bukti bahwa sejak awal kedekatan
Jawa dengan pendatang dari Cina memang tidak diragukan lagi. Yang oleh seorang
bernama Gwan Thwang Sing, yang kemudian menjadi tokoh pelopor adanya Wacinwa di
tahun 1925. Sebagai peranakan Cina yang bermukim dan hidup cukup lama di Jawa,
tentu baginya memberi pengaruh besar, apalagi Jawa di tahun-tahun itu maupun
sebelumnya sedang gencar menggelar pewayangan, pastilah penduduk sangat dekat
dengan pegelaran tersebut, dan termasuk Gwan Thwang Sing. Sehingga, ia pun
secara khusus kami bahas dalam rubrik tokoh. Berlanjut pada rubrik intip, di
mana kali ini sebuah simbol angka 9 yang banyak terdapat dalam hiasan di
berbagai bangunan di Yogyakarta merupakan lambang yang menggambarkan
kepercayaan Jawa terhadap dewa-dewa.
Dari sekian pembahasan yang tersaji
di sanskerta adalah wujud percobaan yang tidak tertuang secara utuh dan
lengkap, melainkan serpihan-serpihan yang terhimpun dari beberapa data, pun
tidak seluruhnya mewakili penulisan yang baik sesuai metode sejarah yang kami
dapat dari ruang kelas. Artinya, kami sedang belajar. Dari yang kecil itu kami
berangkat, memberanikan diri melakukan rekonstruksi sejarah, yang barangkali
bagi mahasiswa sejarah, hal ini belum lah muncul di benak mereka. Itulah alasan
kami menulis hal-hal unik dan jarang dikupas (setidaknya menelusuri lebih jauh
sifat sejarah yang sejatinya).
Sebagai
edisi pamit di kepengurusan terakhir, sanskerta berharap memiliki tempat
tersendiri di hati pembaca. Kami mengucap terimakasih pada semuanya yang telah
setia menikmati buletin sederhana ini, bahkan beberapa kawan telah beberapa
kali menanyakan kabar “kapan terbit?”, juga yang dengan senang hati turut andil
mengusulkan tema untuk edisi mendatang. Kami beruntung, setidaknya, proses
belajar kami: dibaca, diikuti dan diberi komentar. Sehingga untuk kepengurusan
yang selanjutnya, semoga semangat belajar itu tetap kuat. Sebab mengingat
regenerasi yang terus berlangsung, terasa sayang jika enggan memanfaatkan
kesempatan.
Kendati
demikian, tidak menutup kemungkinan yang tersaji di sini melahirkan
pertanyaan-pertanyaan dari pembaca, baik soal keterbatasan sumber maupun alur
pembahasan. Maka yang demikian itu sangat kami harapkan, terutama kritik yang
membangun sebagai bekal proses belajar kami di sanskerta. Kami sadar, waktu
yang sebentar tidaklah cukup untuk mengasah kemampuan. Maka kehadiran pembaca
untuk mau bila sekedar berbincang, berbagi pengetahuan, atau sekalian memberi
masukan, kami sangat menunggu.
Semoga
kehadiran ini senantiasa terjalin untuk saling bertatap dengan meninggalkan
manfaat. Sebagai penutup, kami ingin mengutip salah seorang sastrawan terkemuka
Indonesia dalam sebuah konferensi pada tahun 1950’an yang mengatakan, “...kita
ini dilahirkan oleh sejarah, setidak-tidaknya turut melahirkan. Sedihlah
mereka-mereka yang tidak menyadari hal ini, dan berbahagialah mereka-mereka
yang menyadarinya. Tetapi kesadaran bahwa kita ini sekaligus adalah anak dan
ayah sejarah, meletakkan ke atas pundak kita tanggungjawab yang sama sekali
tidak kecil. Tetapi haruskah kita mundur menghadapi tanggungjawab yang besar?”
Itulah yang menyebabkan sejarah tidak pernah berhenti, sekalipun manusia
mencoba menghentikannya, sehingga makna sejarah adalah perubahan yang mengarah
pada kemajuan dan memberi hakekat pembebasan manusia. Akhir kata, selamat
menjelajah waktu dan peradaban. Salam literasi.
DOWNLOAD SANSKERTA PDF
Hargailah karya orang lain, jika mengutip dimohon mencantumkan sumber.
Komentar
Posting Komentar