Perjalanan Sayah, Rasa


Oleh: Rizpat Anugrah

Jika Sayah berhenti melakukan perjalanan Rasa,
maka Rasa telah mati dalam perasaan Sayah.

Kemarin malam Sayah melakukan perjalanan yang pernah Rasa alami. Perjalanan yang sangat disukai oleh Rasa. Perjalanan yang membuat siapapun yang melakukannya merasa lebih dekat dengan langit dan begitu dekat dengan keindahan. Tapi Sayah melakukan perjalanan itu sendiri, tanpa Rasa. Meski sosok Rasa tidak berada di sisinya, tidak menyurutkan niat dan tekad Sayah untuk terus melanjutkan perjalanan. Sosok Rasa sudah tertanam dalam perasaan dan pikirannya. Memotivasi Sayah untuk terrus berjalan, seperti ada di sampingnya.
Menelusuri jalan setapak, menembus hutan di malam yang gelap, licin dan lembab. Membuat Sayah sulit melangkah. Tapi Rasa mengiringi setiap langkah kaki yang diayunkan kaki kecil Sayah. Seperti seorang balita baru belajar berjalan untuk pertama kali. Seolah-olah ada penyanggah di belakang saat hendak terpelanting ke bawah. Seperti ada dorongan untuk terus berjalan ke atas. Sampai Sayah menyadari bahwa dia sedang berjalan di atas bumi, sedang berjalan di langit. Jutaan lampu-lampu kota seperti lautan bintang di bawah kakinya. Terlebih dari itu Sayah sadar bahwa dia sedang berada di tempat yang lebih dekat dengan bulan sabit malam itu. Bahwa Sayah lebih dekat dengan langit pada malam itu, tepatnya di Kelenteng Songo puncak Merbabu, malam minggu langit 14 September 2013 pukul 22.00 Jawa Tengah.
Sampai saat itu adalah perjalanan terjauh yang Sayah tempuh dengan berjalan kaki. Tapi ada yang lebih jauh dari perjalanan itu, yaitu perjalanan rasa. Perjalanan membawa perasaan dan pikiran Sayah penuh. Penuh dengan gejolak Rasa. Hasrat, dosa, ketakutan, cinta, Tuhan, dan Rasa.
***
Tiga tahun yang lalu, Yogyakarta, 7 September 2010. Saat Sayah masih menjadi mahasiswa tingkat satu. Baru enam bulan Sayah tinggal di Yogyakarta, tidak memahami apa-apa tentang kota itu selain kota pelajar. Kota pemikir, kota para perkumpulan pergerakan nasional dulu lahir. Budi Utomo (BU), Muhammadiyah, Perserikatan Perempuan Indonesia (PPI). Studi Sejarah Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi menjadi pilihanya di Kampus Biru Yogyakarta.
Sayah tidak pernah mempercayakan dirinya pada siapa pun. Di Jogja dia tinggal sendiri dan menyewa satu kamar kos khusus putri yang dekat dengan kampusnya. Latar belakang keluarga yang islami tidak membebaskannya memilih kamar kos yang bebas, boleh dimasuki tamu laki-laki.
Selama tinggal di Jogja bahkan Sayah tidak pernah keluar bersama seorang laki-laki. Tubuh mungilnya  dihiasi balutan busana muslim yang masih terlihat modern ala orang Sunda, yang bisa memadu padankan apa pun yang mereka pakai meski dengan penutup kepala. Sayah banyak berubah setelah masuk dan mengenal dunia Jurnalistik. Pemikirannya lebih kritis terhadap lingkungan sekitarnya dan pikirannya lebih terbuka, sehingga dia mulai meninggalkan rok panjangnya diganti dengan celana.
Perjalanan yang Sayah percayakan pada satu orang untuk pertama kalinya. Perjalanan bersama Rasa, seorang teman satu Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) di Kampus Biru Yogyakarta. Sayah dan Rasa sudah dekat selama hampir satu tahun. Itu karena Rasa yang paling sering menemani Sayah berdiskusi tentang sejarah budaya agama di Yogyakarta. Kota yang selalu ingin Sayah gali segala kultural dan pluralis yang ada di sana.
Awalnya hanya makan malam biasa, di salah satu kafe yang berada di daerah jalan Sudirman, Yogyakarta. Dengan posisi duduk berhadapan dihalangi oleh meja makan di tengah-tengahnya. Lampu berwarna putih tepat di atas tempat duduk Sayah. Lampu yang dilapis  dari rotan. Suasana kafe yang ramai di malam minggu itu tidak bisa membuyarkan konentrasi Sayah kepada sosok laki-laki di hadapannya. Umurnya yang tiga tahun lebih tua dari Sayah memperlihatkan tanda kedewasaan seorang laki-laki berumur 21 tahun, dengan jakun yang menonjol, pundak yang bidang, kulit muka yang kencang, urat-urat yang nampak memperlihatkan tangan yang kokoh. Dikeramaian kafe malam itu, para pengunjung yang sedang asyik bercengkrama dengan teman-temannya. para pelayan yang sibuk melayani, mengantar dan mengambil pesanan para pelanggan kafe.
Namun ada pertanyaan yang begitu yakin dan berani dari keluar dari mulutnya, seseorang di hadapan Sayah. Seolah-olah keramaian di cafĂ© itu raib, aktifitasnya berlangsung  tanpa suara. “habis ini bagaimana kalau kita ke pantai?” pertanyaan yang langsung mengalihkan perhatian Sayah kepada satu objek. Mata mereka saling bertemu. Sayah hanya mengangguk dengan senyum yang melesat dari bibir tipisnya.
Tidak berlama-lama setelah selesai makan mereka langsung pergi ke tempat lain. Rasa membawanya pergi ke suatu tempat untuk melihat barang pesanannya pada seorang penjual langganan di daerah Godean. Tempat yang tidak asing buat Sayah, karena pernah satu kali bersama teman kelasnya ke sana.  Namun tempat itu membuat Sayah terasing. Tidak ada objek yang bisa  Sayah tangkap di tempat itu. Banyak sekali barang-barang di tempat itu. Mulai dari barang-barang yang  Sayah kenali sampai yang tidak diketahui fungsinya apa.
Sayah terasingkan di tempat itu. Satu-satu yang membuatnya ada adalah Rasa, orang di sampingnya. Sejak dari pertama mereka datang ke tempat itu yang Sayah terus berpegangan pada ujung jaket Rasa. Dia yang menjelaskan apa-apa yang ada di tempat itu. Jenis-jenis benda yang dia kuasai. Seperti pemilik toko menjelaskan barang-barang dagangan kepada pembelinya. Bahkan lebih dari itu. Dia tahu sejarahnya. Wawasan dan pengetahuannya tentang berbagai hal memperlihatkan banyak yang di baca dan pelajari, terlebih sejarah yang bukan bagian dari disiplin ilmu yang Rasa geluti, yaitu Teknik.
Mereka sama sekali berbeda, meski keduanya pernah sama-sama belajar di pondok pesantren tapi idologi mereka berbeda. Sayah adalah perempuan yang taat. Kepada Tuhan, agama, orang tua, dan apapun yang dia yakini. Maka jika berdiskusi dengannya tentang apa yang dia yakini semua orang pasti harus mengiyakan dulu baru dia berhenti untuk bicara. Sementara Rasa lebih tenang dan dewasa. Satu kata untuk mendeskripsikan tentangnya adalah seperti Berhala. Ya, patung yang di puja. Karena meskipun keras, kaku, esensinya diakui. Apa yang keluar dari mulutnya seperti sabda Tuhan yang harus diamini. Pragmatis!
Malam hari itu sangat dingin, entah berapa celcius suhu Jogja pada malam hari itu, yang jelas dingin yang menembus tiap pori-pori tubuh mereka seperti ribuan jarum yang menusuk. Sakit.
Perjalanan menuju pantai begitu lama dan panjang karena kami hanya saling membisu. Setelah Sayah rekatkan tubuhnya kepada tubuh Rasa saat diperjalanan menggunakan sepedah motor. Perjalanan itu begitu panjang. Karena tidak ada obrolan mereka semakin membatu.
Setelah sampai di tujuan, pantai Parang Tritis, di daerah Bantul. Suasana masih seperti di perjalanan. Mereka masih kaku.
Saat Sayah memegangi ujung jaket Rasa seperti yang dilakukannya di toko. Tiba-tiba dengan cepat tangan kiri Rasa menarik tangan Sayah. Mendekat tubuhnya. Sementara tangan kanannya menarik pinggang Sayah. Sehingga tubuh kami berdua berdekapan dan Sayah hanya diam mematung. Setelah itu dia menengadahkan kepala Sayah sehingga Rasa bisa mencium Sayah. Bibir yang belum pernah terjamah laki-laki sebelumnya. Lagi-lagi Sayah hanya mematung. Setelah beberapa detik, Rasa menghentikan ciuman yang sejenak mencekik leher Sayah.
Sayah tidak tahu kesadaran apa yang membuatnya membalas menararik kerah jaket Rasa dan menempelkan bibirnya dengan bibir Rasa. Tubuh mereka berdua menempel. Selanjutnya tidak hanya menempel dan berciuman. Tapi satu persatu pakaian mereka lucuti. Mereka berayun, terombang-ambing begitu lentur dan natural. Mereka terombang ambing seperti ombak di lautan. Hingga akhirnya mereka sama-sama terbaring dipinggir pantai tanpa sehelai kain menempel pada tubuh mereka berdua.
Setelah mereka berpakaian dan sama-sama duduk menghadap laut. Sayah bertanya “apakah kita sadar melakukan ini?” tanpa melihat ke arah Rasa dan terus memandangi laut. “tentu saja,” jawabnya masih dengan melihat ke arah laut. “Bagaimana dengan Tuhan?” Tanya Sayah lagi sekarang sambil menatap Rasa di sebelahnya. “biarlah apa yang kita lakukan sekarang kita bertiga yang mengetahuinya. Kamu, aku, dan Tuhan.” Jawab Rasa sambil menari kepala Sayah dan mencium bibirnya, ciuman yang begitu lama, hidmat, jauh begitu khusyu melebihi sujud mereka saat beribadah.
***
Yogyakarta, 16 September 2013 setelah kepulangan Sayah dari Merbabu. Tepatnya tiga tahun setelah Rasa meninggalkannya. Meninggalkannya tanpa kabar dan pesan. Setelah kepulangannya dari Pantai tiga tahun lalu, Rasa menghilang tanpa pesan. Tanpa kabar. Namun Rasa tetap ada dalam diri Sayah. Sayah akan tetap memilih Rasa. Dia meyakini bahwa jarang yang entah terbatas oleh apapun akan melanggengkan cinta pada kekasihnya, Rasa.  
***
Rasa adalah keturunan dari Soenarto seoarang Paranpara (penasihat) paguyuban Pangestu atau sebuah paguyuban kebatinan di Yogyakarta sejak tahun 1954. Paguyuban itu masih eksis sampai sekarang. Rasa adalah penerus dari Soenarto kakek kandungnya.
Sebelum Rasa dan Sayah pergi ke pantai malam itu. Rasa sudah diberi tahukan ayahnya bahwa Rasa akan menjadi generasi selanjutnya setelah ayahnya. Harus meninggalkan semuanya. Hasrat, kesenangan, cintanya yang bersifat duniawi, dan mengkosongkan batinnya dari apa pun.
Dan sebelum Sayah memasuki kamar kosnya, tiga tahun yang lalu saat Rasa mengantarnya sepulang perjalanan mereka dari pantai. Rasa berkata “Aku akan selalu ada dalam rasamu. Hanya akan berhenti saat kau mati dan rasamu ikut mati.” Tutur Rasa sambil memegani tangan Sayah dan menatamnya. Seperti membacakan mantra. Karena setelahnya hanya ada Rasa dalam bola matanya. Rasa yang tidak kembali setelah itu. Tapi Sayah masih melakukan perjalanannya bersama Rasa. Dalam hati dan pikirannya.

Komentar