Ocehan Penyair Tolol

Oleh : Bima Saputra


Kehidupan itu maya, sebab yang nampak dari panca indera hanyalah pancaran kesombongan akan kehidupan. Sering kali manusia terjebak dalam kemelaratan hidup. Bukan kemelaratan yang disebabkan oleh kurangnya harta benda, lebih daripada itu, kemelaratan harta jiwa.

Pada masa-masa tertentu, ketika kesombongan, keserakahan dan kejahatan telah menjadi penghuni kehidupan diseluruh bumi. Lalu mereka mulai mengoyak ketentraman-damaian hidup makluk-makluk lain yang menghuninya. Bumi tempat para makluk surgawi yang yang penuh dengan tetesan air kedamaian cinta, kemudian mulai berubah menjadi benci kekacau-balauan yang sangat mengerikan.

Kefanaan hidup dimuka bumi berputar laksana roda. Lahir. Hidup. Mati. Lahir. Hidup. Mati. Tak berkesudahan. Demikianlah, di tengah gemuruh kebinasaan dan genangan darah yang menguap sampai bercampur bersama mega-mega merah diatas gunung kematian.

Sang Pemenang tidak lagi bangga menyebut dirinya pememang karena musuh-musuh telah mereka kalahkan. Kesombongan, Keserakahan dan kejahatan terangkat dari jiwa manusia laksana embun tersaput hangat mentari, kerena yang tersisa dari kebanggaan akan kemenangan adalah janda-janda dan anak yatim yang tersungkur tak berdaya dalam derita panjang. Kepedihan anak manusia menghambur dalam kidung, puisi, sejak, dan tembang pilu mengalirkan susu, madu, dan embun.

Suara dentuman rudal dan letupan senapan seakan menjadi melodi lirih sehari-hari mereka-mereka. Jeritan serta tangisan bayi hanya dapat didengarkan di puing-puing bangunan tak bertuan. Asap sampai kobaran api menjadi satu layaknya kekuatan penghancur. Apa ini kah hukuman yang harus dijalani umat manusia di bumi. Perang demi perang dilancarkan hanya dengn alasan yang sama. Untuk perdamaian, dan kebenaran. Semuanya sama. Semuanya selaras. Inikah yang harus kami terima, ohh...Tuhan.

Dari kejauhan nampak panji-panji keagungan di kibarkan. Nampak riang wajah-wajah mereka yang nantinya akan membantai atau dibantai. Hamparan padang rumput maha luas dengan rerumputan hijau dan bukit-bukit kecil menjadi saksi kecil pertikain yang terjadi di bumi ini. tetesan darah dan keringat dengan cepat mengubah indahnya padang rumput itu. seketika padang rumput itu menjadi danau darah dengan pemandangan ribuan manusia di atasnya. Bahkan samudra pun merasakan amisnya darah-darah manusia dan ombak samudera itu seakan manjadi mulut penghisap serdadu-serdadu yang mati di medan laga. Duka cita yang........jiwa-jiwa merana melahirkan kegembiraan bak sang pelopor bernyali.

Komentar