Oleh : Cantri R Ramadhani
RSU Fatmawati Jakarta
Selatan, Oktober 2011
Perempuan itu
duduk diantara bangku panjang yang berjajar, selaras di tengah hamparan rumput
taman rumah sakit Fatmawati. Sudah sekian jam dia duduk menunggu sebuah
kepastian yang telah pasti. Pandangannya berlarian ke segala arah, simpul
senyumnya tetap terkembang manis tersirat di paras indahnya. Tanpa sedikitpun
terpengaruh dengan keadaan sekitar dan sesuatu yang tengah memenuhi pikirannya.
Perempuan itu, selalu terlihat menawan. Raut wajahnya rupawan, senyum manis
yang tak pernah luntur dimakan keadaan. Keceriannya hadir dan memberikan warna
kehidupan sekitarnya. Membuat dia mampu mengambil hati banyak orang yang berada
dekat dengannya. Sudah hampir sebulan, dia berada di rumah sakit, entah harus
berapa lama lagi. Hanya demi sebuah kepastian yang sudah dipastikan.
Alena, perempuan
yang memilih hidupnya terkungkung bersama literan tinta dan lembaran kertas. Berujung
dengan goresan cerita hidup tiap-tiap manusia bumi. Perempuan yang tak lelah
dibicarakan setiap orang yang mengenalnya, raut wajahnya yang dinaungi sinaran,
tiap-tiap simpul senyumnya terlukis ambigu itu terkembang bagaimanapun
suasananya tetap dicintai orang-orang yang berbicara tentangnya. Mereka tak
satupun yang mengerti apa yang ada dibalik simpul senyum yang tertoreh indah di
wajah manisnya. Perempuan itu menunggu selembar keputusan yang akan datang dari
Dokter Aria. Laki-laki yang selama dua tahun memantau setiap detail penyakit
yang diderita Alena. Sejak lima tahun yang lalu
Alena tahu penyakit apa yang berada ditubuhnya. Ia tahu tanpa harus menunggu
Aria mengeluarkan pernyataan. Dan Aria yang telah tahu sejak awal mencoba
bertahan diam demi jiwa pasiennya sekaligus perempuan yang dicintainya itu. Diamnya
bukan tinggal diam, diamnya laki-laki rupawan ini adalah diam yang bertanggung
jawab, diam yang memberikan naungan. Aria sudah sekian tahun berusaha mencari
jalan keluar untuk masalah Alena. Pelan tapi pasti, ia mencari solusi agar
Alena tak kehilangan masa depan.
Hingga selang
berapa jam kemudian, sebuah panggilan dari pengeras suara di sudut rumah sakit
mengharuskan Alena beranjak dari tempatnya bersandar, tempatnya terdiam
menunggu, dan membaca sebuah pernyataan :
Nama Pasien :
Alena Sapdhitaraya Oudijck
Diagnosa :
Meningitis (Radang Selaput Otak) Stadium 4
Bakteri Pneumokokus sudah mencapai
batas maksimal berkembang biak di ditubuhnya. Bakteri berbahaya yang mengancam
nyawa Alena ini entah sejak kapan memilih berkembang biak didalam tubuhnya.
Hingga vonis yang sebenarnya Aria tak sanggup mengungkapkannya, terpaksa diucapkan
meski katup bibirnya seakan tak mau bekerja sempurna untuk dikatakan. Umur
Alena kemungkinan tak lagi lama. Dan Alena, perempuan yang dianugerahi aksen
wajah keturunan Eropa karena papanya adalah seorang Belanda. Lagi-lagi Alena hanya
memberikan simpul senyum manisnya yang ambigu. Dia tahu, sangat tahu
kemungkinan itu. Ia Tak lagi terkejut seperti saat pertama kali vonis itu
keluar dari mulut Aria. Radang selaput otak yang menjangkitnya lima tahun itu
baru diketahui pasti dua tahun lalu. Tak sedikitpun Alena terlihat mengeluh
ketika sakit kepala yang dia rasakan setiap harinya. Setiap dia kelelahan
bercumbu dengan literan tinta dan ratusan lembar kertas. Tak sedikitpun Alena
juga tahu sebelumnya bahwa dampak penyakit ini berujung kematian. Namun, vonis
Aria tak membuatnya berubah. Senyumnya masih terus terlukis manis di paras
cantiknya. Aria terkadang menatap nanar perempuan yang dicintainya itu, bahkan
tak jarang mata laki-laki yang menjadi dokter Alena menghasilkan buliran bening
air, prihatin melihat keadaan Alena dan menatap senyum ambigunya yang manis.
Aria
Mahendra, laki-laki keturunan ningrat yang berprofesi sebagai dokter ini adalah
laki-laki yang dua tahun lalu mengenal Alena sebagai pasiennya. Entah sejak
kapan rasa yang Aria sebut cinta itu muncul pada perempuan berparas manis itu
hadir. Dia bahkan mati-matian menolak perjodohan yang sudah direncanakan
keluarganya. Aria tak mau membawa nama besar ayahnya untuk mendapatkan sesuatu
atau menentukan sesuatu dalam hidupnya. Aria ingin menjadi Aria, laki-laki yang
sesungguhnya. Alena yang telah meluluhkan benteng kokoh hati Aria Mahendra.
Sayangnya, perempuan itu tak bergeming. Dia tetap memilih berjalan dijalan yang
telah dia tentukan sendiri. Alena tahu setiap detail kekurangannya, dia hanya
ingin menjadi perempuan tahu diri dengan cara tidak mengindahkan sedikitpun
perasaan Aria. Atau mungkin dia hanya tidak dapat membaca dirinya sendiri.
Entahlah. Alena adalah perempuan yang tak semudah itu dapat diduga. Ambigu. Dan
Aria, tetap kokoh pada pendiriannya, memilih Alena sebagai perempuan peruntuh
benteng hatinya. Aria tahu betul kenapa Alena tak mau menerimanya barang
sejenak, Aria sangat tahu dan dia bertahan. Kesabarannya melebihi manusia sewajarnya
untuk Alena. Dan dia rela menghabiskan waktunya untuk meneliti setiap detail
bakteri yang menggerogoti tubuh mungil Alena, demi masa depan perempuan itu.
Rumah Alena, Jl. Rasuna
Said Jakarta Selatan. 12 Januari 2012
Waktu
yang sudah Alena tunggu datang. Tuhan menentukan kurang dari vonis yang Aria
jatuhkan. Perempuan mungil yang menebarkan senyum pada setiap manusia yang dia
temui, perempuan yang memiliki keramahan diatas batas manusia normal, perempuan
yang memiliki sorot mata tajam penuh tanya, perempuan yang tak pernah
menanggalkan senyum ambigunya pergi untuk selamanya. Sang Penciptanya telah
memilih perempuan itu untuk berada disisiNya. Sang Pencipta Yang Maha Sempurna
telah memilih Alena, perempuan sempurna yang
dia ciptakan untuk menghuni surga abadiNya. Ratusan karangan bunga memenuhi
gerbang rumah Alena, ratusan manusia yang menyanginya tak hentinya
silih-berganti memberikan penghormatan terakhir pada perempuan itu. Hingga
deretan panjang mereka mengantarkan Alena Sapdhitaraya Oudijck tidur ditempat
tidur abadinya. Dan Aria, hanya mampu terdiam, terpaku keadaan yang entah harus
seperti apa dia berekspresi. Lelaki itu hanya mampu diam membisu di samping
pusara Alena, perempuan yang tak mampu dia mengerti hatinya. Perempuan yang tak
pernah mampu dia miliki hingga akhir hidupnya kelak. Tatapan Aria kosong tak
bermakna. Hingga semburat merah menghias sisi barat langit luas, Aria hanya
mampu menuliskan selembar surat yang tak terbaca dan dia tinggalkan disamping
setangkai bunga Mawar putih kesukaan Alena.
“Untukmu Alena, aku laki-laki yang
memilih mencintaimu tanpa kau balas rasaku ini tak pernah menyesal memilih.
Karena mencintaimu membuatku sadar bagaimana hidup yang sebenarnya, karena
lewat dirimu membuat aku sadar sebuah senyum tak mampu menandingi obat semahal
apapun didunia ini. Alena, aku tahu kamu tahu rasa yang sejak pertama kali kita
bertemu ini muncul. Aku tahu kamu tahu, tapi tak pernah mau tahu kan? Alena,
tak mengapa. Tahu saja sudah cukup untukku. Mencintaimu tanpa terbalaspun sudah
mampu membuat hidupku beberapa tahun ini berwarna. Terima kasih Alena. Semoga
di surga sana surat dan setangkai mawar putih kesukaanmu ini kau terima”.
-Aria Mahendra, laki-laki yang telah kau
runtuhkan benteng keegoisannya-
--- Tamat ---
Lebih banyak lagi karya dari Cantri silahkan klik disini
Komentar
Posting Komentar