Oleh : Aufannuha Ihsani
You can’t be neutral on a moving train
–Howard Zinn
Saya selalu beranggapan bahwa jurnalisme dan historiografi
adalah dua hal yang memiliki kemiripan. Keduanya sama-sama fokus pada sebuah
peristiwa, pada apa-apa yang terjadi dan penting untuk dicatat dan diketahui
khalayak. Namun, kendati demikian, sejarah lebih mengambil jarak pada masa
lalu. Ia mencatat peristiwa-peritiwa yang penting untuk diketahui, menjelaskan
mengapa sesuatu itu terjadi dengan data baik dari dokumen-dokumen tertulis
macam arsip atau surat kabar sezaman maupun wawancara dengan saksi sejarah yang
masih hidup.
Sejak awal, sejarah saya pandang sama dengan jurnalisme
karena ada unsur subyektivitas yang tidak terelakkan di sana. Ketika memilih
sebuah tema untuk diberitakan, atau ketika seorang sejarawan memilih tema untuk
ditulis, keduanya sudah dalam posisi subyektif. Mengapa memilih tema ini dan
tidak tema yang lain, padahal penting atau tak penting kemudian hanya berdasar
pada soal “menurut siapa”.
Yang membuatnya menjadi obyektif adalah bahwa baik sejarah
maupun jurnalisme memiliki metode penulisannya masing masing. Ketika kita
menulis berita, akan ada proses reportase yang mencakup wawancara dan kajian
pustaka, setelah itu akan ada transkrip wawancara, lalu selepas menganalisis,
baru berita itu ditulis.
Begitu pula sejarah. Empat metode yang dikenal sejarawan
kontemporer akan selalu berkutat pada (1) heuristik, (2) kritik sumber, (3)
interpretasi, dan (4) historiografi. Metode-metode macam itulah yang membuat
baik sejarah maupun jurnalisme menjadi obyektif. Ia bisa diterima banyak orang
jika metodenya terpenuhi dengan runut.
Namun sejarah menjadi sedikit lebih kompleks, karena ia
berkaitan banyak dengan politik. Di dalamnya ada memori kolektif yang dapat
menggugah elan. Di sisi yang lain, sejarah dapat melegitimasi sebuah
pemerintahan, ia menjadi alasan bagi sekelompok orang untuk bergerak, bahkan
merumuskan identitas.
Dari sana, maka sejarah merupakan sebuah ilmu yang berdiri
di tengah-tengah. Ia dapat digunakan untuk mengonstruksi sekaligus
mendekonstruksi apapun. Ia pisau bermata dua. Ketika berbicara dalam konteks
negara, wa bil khusus Indonesia, para sejarawan akan berbincang soal
bagaimana bangsa asing datang dan mendirikan sebuah kongsi dagang (VOC), lalu
membikin pemerintahan kolonial di sini. Kemudian akan dijelaskan pula soal
usaha perlawanan yang sporadis dan menyebar itu, dan beralih pada masa
pergerakan nasional, di mana sudah ada kesadaran intelektual untuk bersatu dan keinginan
untuk merdeka dengan jalur politik.
Sederet nama-nama kemudian muncul: Wahidin Soedirohusodo,
Tjokroaminoto, Semaoen, Ki Hadjar Dewantara, Hadji Misbach, Ahmad Dahlan,
Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan lain-lain. Tokoh-tokoh besar itu yang kita kenal
selama ini dalam buku-buku sejarah. Berbincang soal mereka memang menambah
wacana kita soal apa yang pernah terjadi di masa silam. Namun, sejarah kemudian
hanya akan berkutat pada orang-orang besar dan apa yang mereka lakukan, tanpa
melihat bagaimana mereka yang berada di kalangan akar rumput juga peranan untuk
mengukir sebuah peristiwa.
Jika yang kecil saja tidak diberi ruang untuk berpendapat,
lalu bagaimana dengan mereka yang dicoba untuk dihapuskan nama-namanya dalam
sejarah? Apakah mereka akan dikenal, diwacanakan, dan ditulis dalam
lembar-lembar yang mengisahkan perjalanan sebuah negara?
* * *
Bulan September 2009, digelar aksi besar-besaran di depan
kantor pusat Jawa Pos di Surabaya. Aksi yang dimotori oleh Front Anti-Komunis
ini dipicu oleh sebuah artikel yang ditulis Dahlan Iskan di Jawa Pos pada 9 dan
15 Agustus sebelumnya. Dalam artikel itu, Dahlan Iskan berbincang soal
Soemarsono, Ketua Pemuda Republik Indonesia (PRI). PRI sendiri adalah sebuah
organisasi yang menghimpun kekuatan pemuda di Surabaya. Ia orang PKI. Dalam
tulisannya, ia mengungkapkan bahwa Soemarsono juga berperan layaknya Bung Tomo
dalam Pertempuran 10 November di Surabaya. Alasan mengapa ia tidak pernah
diungkap oleh sejarah adalah karena rezim Orde Baru berusaha menutup segala data
dan sejarah terkait PKI.
Dalam aksi itu, turut pula Prof. Dr. Aminuddin Kasdi,
seorang guru besar sejarah Universitas Negeri Surabaya (UNESA). Ia ikut berdemo
bersama massa, yang sekaligus diwarnai aksi pembakaran buku Revolusi Agustus
karya Soemarsono. Ketika diwawancarai oleh i:boekoe pada 7 September 2009, ia
berkata, “Wong kalah kok njaluk sejarah.”
Ketika mendengar seorang Profesor, apalagi guru besar
sejarah, berkata demikian, saya jadi skeptis bahwa sejarah hanya akan mengulas
tokoh-tokoh besar saja, yang punya kuasa hingga sekarang. Sejarah, dengan
demikian, akan tunduk pada apa yang dimaui penguasa. Sebab jika terkuak,
stabilitas politik dengan serta merta akan terganggu pula. Dengan demikian, apa
yang dikatakan Gayatri Spivak soal mereka yang subaltern itu, memang
benar-benar tak punya ruang-ruang untuk bersuara.
Anggapan saya hanya bertahan ketika saya menelisik soal
Howard Zinn, seorang sejarawan Amerika yang ingin memberikan ruang buat mereka
yang dikalahkan oleh rezim. Jika Howard Zinn ada pada September 2009 itu di
depan kantor pusat Jawa Pos, saya bayangkan, ia pasti akan mendebat Aminuddin
Kasdi. Namun saya megetahui Zinn sangat terlambat, bahkan setelah kematiannya
di bulan Januari 2010.
Zinn dilahirkan di New York, 22 Agustus 1922. Kedua orang
tuanya adalah Yahudi imigran. Ayahnya membuka kios permen kecil, yang tak
pernah terlalu mendapat banyak penghasilan. Pada 1943, ia masuk Angkatan Udara,
menjadi sepesialis bomber. Namun, ketika perang usai dan ia kembali ke rumah
tinggalnya, ia merasa berdosa. Setelah ia menerima medali penghargaan atas
jasa-jasanya dalam perang, ia memasukkan medali itu ke dalam sebuah amplop dan
menuliskan, “Jangan pernah lagi.”
Kelak, kepahitan pengalamannya akan perang itulah yang
menyebabkannya menulis sebuah karya sejarah yang fenomenal, yang bertutur dari
sudut pandang mereka yang kalah, A People’s History of the United States.
Saya belum sempat membaca buku itu. Beberapa referensi soal
Howard Zinn saya dapatkan dari beberapa artikel di internet. Salah satu di
antaranya ditulis oleh Zinn sendiri, berjudul “Untold Truths About the American
Revolution”. Dalam artikel itu ia menyoal perang kemerdekaan Amerika Serikat
melawan tentara Inggris, yang, sebenarnya, lupa dicatat oleh banyak sejarawan.
Perang kemerdekaan Amerika bukanlah perjuangan sama rata
sama rasa, di mana setiap orang yang bukan tentara Ingris membela mati-matian
negara baru tersebut. Ketika bicara soal perang kemerdekaan Amerika, pertanyaan
pertama yang harus dicatat adalah, “apa yang kita dapatkan?”. Selepas itu,
pertanyaan yang lain muncul, “benarkah tiap orang berjuang untuk perang
kemerdekaan itu?”. Menjawab dua pertanyaan ini, Zinn berargumen bahwasanya ada
beberapa pihak yang tidak sepakat dengan perjuangan itu: orang Indian, orang
kulit hitam, dan petani rendah.
Tiga golongan tadi dimunculkan Zinn dalam artikelnya. Orang
Indian, menurut Zinn, tidak merayakan gegap gempita semangat revolusi Amerika
Serikat karena mereka lebih senang dengan orang Inggris. Apa pasal? Pada tahun
1763, pemerintah Inggris yang bercokol di Amerika membikin semacam perjanjian
dengan orang Indian bahwa mereka tidak akan diusik. Perjanjian tersebut berisi
bahwasanya tentara Inggris tidak diperbolehkan memasuki teritori orang Indian.
Setelah Inggris kalah dalam perang kemerdekaan dan Amerika Serikat berdaulat,
perjanjian itu ikut pula dihapuskan. Lalu orang-orang Amerika yang baru merdeka
itu mulai membantai satu demi satu pemukiman orang Indian yang mereka temui.
Orang kulit hitam turut dimasukkan Zinn ke dalam golongan
yang tidak turut bergembira. Sebelum dan sesudah perang kemerdekaan, mereka
tetap diperbudak. Dan perbudakan itu, bangsatnya, diatur di dalam
Undang-undang. Sementara itu, petani rendah tidak mendapatkan apapun yang telah
dijanjikan terhadap mereka sebelum perang dimulai. Mereka diiming-imingi tanah
untuk digarap jika perang telah usai. Namun, ketika telah merdeka,
petani-petani rendah itu dibiarkan saja.
Mungkin kawan-kawan pernah menonton film The Patriot.
Dalam film itu, Mell Gibson seolah terlihat garang dan mau berperang setelah
salah satu anaknya ditembak seorang kolonel Inggris. Tokoh utamanya digambarkan
sebagai seseorang yang mau berjuang demi bangsa dan negaranya, tanpa pamrih,
tanpa kenal lelah. Namun itu hanya terjadi dalam film. Pada kenyataannya,
menurut Zinn, perang mesti ditilik dari perspektif “siapa mendapatkan apa”.
Sebab perang, dalam definisi yang ia rumuskan, adalah “indiscriminate
killing of huge numbers of people for ends that are uncertain (pembunuhan
massal sembarang orang untuk akhir yang tak pasti)”.
Dengan sejarah yang berpihak pada mereka yang kalah, konsep
nasionalisme seolah dibikin banal oleh Zinn. Ia tidak pernah bisa sepakat
dengan Benedict Anderson yang bilang bahwa nasionalisme sejatinya adalah
“komunitas politik yang dibayangkan”. Dalam buku Imagined Communities,
Anderson menulis:
“Akhirnya, bangsa dibayangkan sebagai
sebuah komunitas, sebab tak peduli akan ketidakadilan yang ada dan penghisapan
yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa, bangsa itu sendiri selalu dipahami
sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan melebar-mendatar.”
Konsep inilah yang ditolak oleh Zinn. Anderson tidak
menjelaskan bagaimana hubungan tiap orang dalam sebuah bangsa bisa disebut
sebagai “kesetiakawanan” ketika segala ketidakadilan dan penghisapan itu
terjadi. Zinn menjawab definisi nasionalisme Andersonian, seperti yang dikutip
pula oleh Gde Dwitya dalam artikelnya yang berjudul “Howard Zinn dan Sejarah
Orang-orang Kalah” di www.jakartabeat.net, bahwa:
“Sejarah setiap negeri yang selalu
ditulis sebagai sebuah sejarah keluarga menyembunyikan konflik kepentingan yang
kronis antara penakluk dan pecundang, tuan dan budak, kapitalis dan buruh,
serta dominator dan yang terdominasi. Dan dalam dunia yang penuh konflik
tersebut, dunia para korban dan eksekutor, adalah tugas mereka yang berpikir,
sebagaimana Albert Camus sarankan, untuk tidak berpihak di sisi kaum
eksekutor!”
Keberpihakan Zinn, adalah soal ideologinya dalam menulis sejarah. Ia seseorang
yang anti kekerasan dan menolak alasan apapun yang digunakan untuk mendukung
sebuah perang. Membaca sedikit soal Zinn, saya jadi teringat James Joyce.
Sastrawan asal Irlandia itu sekali waktu pernah berujar bahwa sejarah adalah
“mimpi buruk yang aku ingin terbangun darinya”. Sepertinya, karena kebencian
Zinn itulah ia mencoba mengungkap masa lalu yang kelam bak mimpi buruk, dari
sudut si pecundang, agar suatu saat kita terbangun dari apa yang dinamakan
“ketidakadilan” dan “penindasan” itu.
Daftar bacaan lanjut:
- Anderson, Benedict. 2008. Imagined Communities, Komunitas-komunitas Terbayang. Yogyakarta: Insist Press dan Pustaka Pelajar.
- Dwitya, Gde. 2010. “Howard Zinn dan Sejarah Orang-orang Kalah”. Diakses dari http://www.jakartabeat.net/humaniora/kanal-humaniora/esai/item/324-howard-zinn-dan-sejarah-orang-orang-kalah.html, pada 14 Februari 2012 pukul 00:15 WIB.
- Powell, Howard. 2010. “Howard Zinn, Historian, Dies at 87”. Diakses dari http://www.nytimes.com/2010/01/28/us/28zinn.html?_r=1, pada 20 Maret 2012 pukul 01:35 WIB.
- Zinn, Howard. 2009. “Untold Truths About the American Revolution”. Diakses dari http://www.progressive.org/zinn070309.html, pada 20 Maret 2012 pukul 01:59 WIB.
Lebih lanjut lagi dengan tulisan-tulisan Aufannuha, silahkan klik disini
Komentar
Posting Komentar