Oleh : Maria M.R Fernandez
Masih ingat dengan sistem Cultuurstelsel? Sebuah aturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jendral Johannes van den Bosch pada 1830 yang mewajibkan banyak desa untuk menyisihkan 20% tanah miliknya untuk ditanami tanaman wajib ekspor seperti kopi, gula, dan tarum (nila). Hasil panen kelak akan dijual pada pemerintah dengan harga yang sudah ditentukan. Aturan main dalam sistem ini lalu menyimpang, menyengsarakan rakyat yang harus menjual hasil panennya dengan harga murah dan bekerja tanpa mengenal waktu. Untuk pihak kolonial, sistem yang juga dikenal dengan sistem tanam paksa ini sukses besar. Kas Negara yang kempes gara-gara Perang Jawa, mengembung kembali. Van den Bosch dipuji. Padanya dianugerahi gelar Graaf oleh raja Belanda pada hari Natal 1839.
Masih ingat dengan sistem Cultuurstelsel? Sebuah aturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jendral Johannes van den Bosch pada 1830 yang mewajibkan banyak desa untuk menyisihkan 20% tanah miliknya untuk ditanami tanaman wajib ekspor seperti kopi, gula, dan tarum (nila). Hasil panen kelak akan dijual pada pemerintah dengan harga yang sudah ditentukan. Aturan main dalam sistem ini lalu menyimpang, menyengsarakan rakyat yang harus menjual hasil panennya dengan harga murah dan bekerja tanpa mengenal waktu. Untuk pihak kolonial, sistem yang juga dikenal dengan sistem tanam paksa ini sukses besar. Kas Negara yang kempes gara-gara Perang Jawa, mengembung kembali. Van den Bosch dipuji. Padanya dianugerahi gelar Graaf oleh raja Belanda pada hari Natal 1839.
Dengan
diekspornya tanaman-tanaman tersebut, nama Hindia Belanda khususnya, Jawa jadi
meroket di mata dunia. Kualitas kopi, tarum dan gulanya begitu tinggi. Khususnya
Gula, telah mempermanis kekuatan dagang Hindia Belanda di pasar Eropa. Tak
hanya itu, sistem ini juga berhasil mempromosikan kredibilitas perkapalan
Belanda. Armada pedagang Belanda dengan cepat menjadi yang terbesar ketiga di
dunia, yang hanya dilampaui oleh Britania dan Perancis (Vlekke,2008:327). Namun
nan jauh di tanah Jawa, nikmatnya gula Jawa (dari tebu khususnya) telah
dihasilkan dari keringat, air mata dan
bahkan darah orang pribumi sendiri.
Produksi
gula di Nusantara sudah berlangsung sejak lama. Pada 895 M, I-tsing mencatat
gula yang berasal dari tebu dan nira kelapa sudah diperdagangkan di Nusantara.
Ketika Belanda tiba di Nusantara pada abad ke 17 barulah terjadi perkembangan
dalam usaha perkebunan tebu dan produksi gula di Jawa. Iklim nusantara yang
hangat, membuatnya menjadi wilayah yang sangat kondusif untuk menghasilkan
gula.
Pada
awalnya industri gula dibuka di sekitar Batavia. Yang mengelolanya pun orang
Cina dan pihak VOC. Cara produksi gula sendiri kala itu masih amat
sederhana. Memasuki pertengahan abad ke
17, mulailah dilakukan ekspor Gula ke Eropa. Gula dari Jawa ini mendapat tempat
tersendiri di kancah perdagangan ini. Saat itu sudah dibangun 130 pabrik gula.
Persaingan pun terjadi kala India turut mengekspor gula nya ke Eropa dengan
kualitas yang tak kalah tinggi. Ada beberapa pabrik gula yang harus ditutup
karenanya. Hingga akhir abad ke 17, terjadi penyusutan pabrik gula hingga
mencapai 80 pabrik. Keadaan alam di
sekitar Batavia, diperkirakan menjadi faktor
penyebab menurunnya kondusivitas budi daya tebu, disamping kesulitan modal.
Memasuki
abad ke 19, seiring dengan kian meningkatnya teknologi, dibangunlah berbagai
pabrik gula yang modern. Modern yang dimaksudkan adalah cara produksinya yang
sudah lebih maju dengan menggunakan berbagai peralatan. Daerah Pamanukan dan
Besuki menjadi wilayah dibangunnya pabrik-pabrik gula ini.
Kurun waktu berikutnya industri gula Jawa kian
menggeliat bangkit seiring dengan diberlakukannya Cultuurstelsel oleh van den
Bosch. Liberalisasi industri gula Jawa dipasung. Semua aktivitas ekonomi
(perdagangan gula) swasta dilarang dan dikuasai sepenuhnya oleh pemerintah
kolonial Belanda. Pada tahun 1830 Bosch mengembangkan penanaman tebu di daerah
pantura Jawa Tengah dan Jawa Timur, yang dikelola secara profesional. Sebagian
besar perusahaan keluarga diserahkan kepada para manajer profesional. Modal
didukung oleh Javasche Bank, sedangkan manajemen inti dipegang orang-orang
Eropa. Usaha-usaha penetrasi pasar dilakukan pemerintah Belanda melalui
regulasi impor gula dengan memberikan potongan 15 gulden untuk setiap
pembayaran cukai sebanyak 100 gulden. Tenaga kerja hampir sepenuhnya tidak
dibayar alias gratis karena unsur paksaan oleh para penguasa bumiputra yang
berkolaborasi dengan para penjajah. Perubahan kebijakan ini berhasil baik,
dimana 10 tahun kemudian gula dari Jawa mampu mendominasi pasar dunia.
Margarete
Leidelmeijer pada tahun 1995 dalam studi Doktornya di Universitas Teknologi
Eindhoven, menulis tentang industri gula di Jawa, untuk disertasinya.
Menurutnya sejak adanya culturstelsel di Hindia Belanda, teknologi industri
gula Jawa sebagian mengadopsi teknologi pengolahan gula bit (gula pasir dan
gula batu) di Eropa, salah satunya dengan menggunakan pan (wadah) masak vacuum.
Selain itu, besar pula dukungan banyak insintur dan peneliti Belanda yang
difasilitasi oleh Kementrian Pemerintah Kolonial, turut terlibat dalam
pengembangan industri gula Jawa. Komunikasi antara para pelaku industri gula di
Jawa dan Eropa saat itu cukup intensif. Mereka saling bertukar informasi
tentang teknologi prosesing gula tebu dan gula bit. Industri gula Jawa pada
akhirnya berkembang cukup pesat dan bahkan menjadi acuan bagi industri gula
tebu dunia lainnya. Inovasi teknologi prosesing gula tebu yang dimulai abad 19
tersebut, kemudian disempurnakan dengan berbagai inovasi teknologi di abad 20.
Hingga
tahun 1930an, Hindia Belanda tetap menjadi eksportir gula yang unggul. Gula
Jawa masih menjadi Primadona hingga saat ini. Meski begitu, tantangan untuk
mempertahankan eksistensinya di mata Dunia selalu menghampiri. Nasib petani
Tebu pun belum semanis pamor gulanya di kancah perdagangan Dunia.
Komentar
Posting Komentar