Lesehan Budaya Asli Asia Tenggara


Oleh : Najih Shu'udi

Hampir setiap hari kita bisa melihat apa yang dinamakan lesehan, baik itu warung makan atau penjual yang berada di pinggiran jalan. Apakah keberadaan lesehan itu tiba tiba? ataukah itu suatu kebudayaan dari masa lalu yang diwariskan nenek moyang kepada kita. Anthony Reid dalam bukunya yang berjudul  “Asia Tenggara Era Perdagangan, Dalam Kurun Waktu: 1450 samapai 1680”, Lesehan adalah budaya asli dari Asia, tidak hanya lesehan. Ia juga menjelaskan bahwa  budaya-budaya lainnya seperti: tatto tubuh, memanjangkan rambut, memenjangkan daun telinga. Reid juga menyebut orang Asia Tenggara dengan sebutan Homo Luden’s (orang yang suka berpesta) karena banyaknya pesta-pesta yang diselenggarakan, seperti: perkawinan, agama, adat, atau ucapan terima kasih terhadap Tuhan atas hasil alam (bumi dan laut).
Budaya lesehan sangat berhubungan dengan pembuatan rumah dari  masyarakat Asia Tenggara sendiri, yang umumnya hanya rumah yang sederhana dan mudah rusak yang disebabkan pembuatan rumah relatif sebentar, dan tidak membutuhkan biaya yang mahal, karena bahan pembuatan rumah mudah untuk didapat yaitu kayu jati atau kelapa. Orang-orang Eropa yang melihat itu terheran-heran karena pembuatan rumah yang begitu singkat, seperti La Loebere yang menyaksikan tiga ratus rumah di Ayotthaya yang dibangun kembali dalam dua hari, atau Lodewycksz yang menyaksikan keseluruhan pantai Banten dibangun kembali dalam waktu tiga atau  empat jam. Itu semua tidak hanya disebabkan karena kemudahan dalam mencari  material rumah, tetapi juga karena prinsip gotong-royong dari masyarakat Asia Tenggara.
Dan lesehan ini pun lambat-laun tergerus oleh kedatangan bangsa Eropa beserta kebudayaannya, yang dimulai dari hubungan dengan pihak istana dengan memberi hadiah-hadiah bagi sang raja. Sehingga banyak barang-barang koleksi atau hiasan istana dari Eropa, itu semua dilakukan untuk bisa menyenangkan hati sang raja agar mendapat izin berdagang atau mendirikan bangunan, seperti benteng.
Budaya lesehan ini menunjukkan bahwa masyarakat di Asia identik dengan kesederhanaan. Makan di atas lantai tanpa ada kursi. Merujuk pada pepatah “berdiri sama tinggi duduk sama rendah”, dengan lesehan tidak ada perbedaan status baik ekonomi, sosial, jabatan, dll. Tetapi lesehan menunjukkan kesetaraan dan kebersamaan yang didasarkan rasa persaudaraan.

Komentar