Oleh : Maria M.R Fernandez
Bengawan Solo riwayatmu kini
Sedari dulu jadi perhatian insan…
Musim Kemarau tak seberapa airmu
Di Musim Hujan
Air Meluap sampai jauh…
Cuplikan
lirik lagu di atas tentu sudah tak asing lagi di telinga pendengar keroncong di
Indonesia. Lagu Bengawan Solo memang telah menjadi legenda, sebagaimana
penciptanya Gesang Martohartono. Gesang yang gemar menyanyikan lagu-lagu
keroncong sejak muda, dilahirkan di Solo Jawa Tengah pada 1 Oktober 1917. Ayahnya
adalah seorang pengusaha Batik Solo.
Menyanyi
lagu keroncong tak sekedar menjadi hobi.
Gesang muda menjadikan bakat bernyanyinya sebagai mata pencaharian. Pesta-pesta
kecil menjadi sasaran Gesang menghibur orang-orang dan mendapat upah darinya.
Di masa mudanya, dia bergabung dengan grup musik keroncong Marko dan sering
membawakan lagu-lagunya diSolosche Radio Vereeniging (SRV).Namun lambat laun,
seiring dengan kian berkembangnya muskalitasnya, Gesang tidak lagi sekedar
menyanyi lagu-lagu keroncong, tapi juga menciptakannya. Tercatat, ada belasan lagu yang
dia ciptakanSelain Bengawan Solo sesperti Jembatan Merah, Tirtonadi atau lagu
langgam Jawa, Caping Gunung. Namun bengawan solo adalah yang paling dikenal
luas. Bahkan Bengawan Solo sering dianggap sebagai representasi musik keroncong
itu sendiri.
Cerita
Gesang saat menciptakan lagu ini pun sangatlah menarik. Syahdan, di suatu hari
yang cerah di tahun 1940, Gesang yang kala itu masih berusia 23 tahun tengah
berjalan-jalan menikmati pemandangan
sungai Bengawan Solo. Sungai terpanjang di pulau Jawa ini lalu menginspirasi
Gesang muda untuk menulis sederet lirik lagu pada secarik kertas pembungkus
rokok. Lirik lagu ini belum diberi judul
hingga enam bulan kemudian, Bengawan
Solo menjadi judul yang dipilihnya untuk lagu tersebut. Latar belakangnya sebagai penyanyi keroncong
kecil-kecilan, membuat Gesang tak punya banyak pilihan untuk mengemas lagu ini
ke dalam jenis musik yang lain. Gesang mengaku tak menguasai alat musik,
kecuali seruling yang selalu menemaninya saat masih muda. Lagu Bengawan Solo dia gubah dengan bantuan
seruling kesayangannya. Jadilah lagu Bengawan Solo, sebuah lagu sederhana
berirama keroncong.
Gesang
mungkin tak pernah menyangka, jalan-jalannya di tepi Bengawan Solo kala itu,
lalu membuatnya menjadi dikenal banyak orang. Lagu ini menjadi terkenal
dimana-mana. Bengawan Solo telah diterjemahkan dan dinyanyikan dalam
bahasa-bahasa asing seperti bahasa Inggris, Mandarin dan Jepang. Tak hanya
membuat sosok Gesang yang sederhana menjadi terkenal, lagu ini juga mampu
mengangkat nama sungai Bengawan Solo hingga ke belahan dunia lain. Tak cuma
itu, irama keroncong yang digubah Gesang dengan susah payah dalam lagu ini,
telah mampu menampilkan citra musik keroncong yang mempesona.
Tak
hanya di Indonesia, di Jepangkarya
Gesang ini juga mendapat apresiasi yang sangat tinggi. Bahkan pernah dijadikan
soundtrack sebuah film layar lebar. Jepang juga yang mendirikan Taman Gesang di
dekat Bengawan Solo pada tahun 1983 sebagai bentuk perhargaan yang tinggi atas
jasanya terhadap perkembangan musik keroncong. Bahkan dibentuk pula Yayasan
Peduli Gesang (YPG) di negeri sakura itu. Setiap ulang tahun Gesang, rombongan
YPG akan mendatangi rumah Gesang untuk turut merayakannya.
Kendati
kepopulerannya sampai ke luar negeri, kehidupan Gesang tak banyak berubah. Beliau
tetap warga Solo biasa yang menempati sebuah rumah sederhana di perumnas Palur
yang menjadi hadiah dari mendiang Soepardjo Rustam, mantan Gubernur Jawa
tengah. Pasca perceraiannya, Gesang memutuskan untuk hidup sendiri. Rupanya
Gesang tak sanggup hidup sendiri terlalu lama. Diajaknya beberapa kemenakan
untuk turut tinggal di rumahnya. Ia tak banyak memperdulikan royalti dari
lagu-lagunya. Royalti atas lagu-lagu Gesang lalu berusaha dikumpulkan oleh PT
Penerbit Karya Musik Pertiwi (PMP) sejak tahun 1996.Lembaga ini juga
berinisiatif menerbitkan buku-buku berisi 44 partitur serta syair-syair lagu,
demi terjaganya karya-karya cipataan Gesang. Saat ini lagu-lagu Gesang telah
diakui sebagai aset nasional.
Gesang
telah berpulang ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa pada 20 Mei 2009 dalam usia 92
tahun di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah, Solo, Jawa tengah. Sosok Gesang beserta
karya-karyanya akan tetap dikenang sampai jauh. Sejauh aliran sungai Bengawan
Solo. Jauh menembus ruang dan waktu.
ini yang patut kita contoh.. selamat jalan bapak Gesang kami akan jaga peninggalan kamu sang mestro
BalasHapus