(Koleksi: https://sluggerotoole.com/wp-content/uploads/2023/11/Olympe-de-Gouges.webp)
Olympe de Gouges lahir dengan nama asli Marie Gouze pada 7 Mei 1748 di kota Montauban, sebuah kota kecil yang terletak di wilayah barat daya Prancis. Ia berasal dari keluarga dengan latar belakang sosial ekonomi yang sederhana dan berada di kelas menengah bawah. Ayahnya, Pierre Gouze, adalah seorang pedagang daging di Montauban, yang pada masa itu dikenal sebagai pusat perdagangan dan aktivitas ekonomi. Sementara itu, ibunya, Anne Olympe Moisset, memerankan peran tradisional perempuan pada waktu itu sebagai seorang ibu rumah tangga.
Beberapa kalangan berpendapat bahwa Marie adalah anak
luar nikah dari Jean-Jacques Lefranc, Marquis de Pompignan, seorang bangsawan
yang juga dikenal sebagai penulis ternama pada masanya. Pandangan ini
didasarkan pada gaya hidup Marie serta minatnya yang mendalam terhadap
perkembangan intelektual, yang dianggap lebih mencerminkan ciri-ciri kelas
aristokrat daripada kelas pekerja tempat ia dilahirkan.
Olympe de Gouges menerima pendidikan yang terbatas dan
tidak formal, karena pada masa itu, akses terhadap pendidikan formal umumnya
terbatas pada laki-laki dan individu dari kalangan bangsawan. Meskipun
demikian, Olympe mengembangkan kemampuan membaca dan menulis melalui bimbingan
informal dan pembelajaran mandiri. Pengetahuan serta wawasan intelektualnya
berkembang pesat dalam bidang sastra, politik, dan filsafat, yang diperolehnya
dengan mempelajari karya-karya tokoh terkenal seperti Jean-Jacques Rousseau dan
Voltaire, serta melalui interaksi dengan berbagai intelektual setelah ia pindah
ke Paris.
Pada usia 16 tahun, ia bertemu dengan Louis-Yves Aubry
di kota kelahirannya, yang kemudian menjadi calon suaminya. Louis, seorang pria
terhormat dengan latar belakang keluarga yang kaya, bekerja sebagai pemilik
restoran sekaligus pejabat lokal. Olympe menikah dengan Louis pada tahun 1765,
saat ia berusia 16 tahun. Beberapa bulan setelah pernikahan mereka, Marie hamil
dan melahirkan seorang putra yang diberi nama Pierre. Namun, kebahagiaan mereka
tidak berlangsung lama, karena Louis meninggal dunia akibat penyakit pernapasan
yang pada waktu itu banyak diderita oleh masyarakat Montauban dan sulit untuk
diobati.
Setelah kepergian suaminya, Olympe de Gouges menjadi
seorang janda muda dengan seorang anak, yang mengubah arah kehidupannya secara
signifikan. Ia mengambil langkah yang dianggap radikal pada zamannya, yaitu
memutuskan untuk tidak menikah lagi, karena pernikahannya dengan Louis tidak
didasarkan pada cinta, melainkan lebih pada faktor ekonomi yang memaksanya
untuk menikah. Keputusan ini dipandang radikal, mengingat pada masa itu seorang
janda muda umumnya diharapkan untuk menikah kembali guna memperoleh dukungan
finansial dan mempertahankan status sosial. Olympe kemudian memilih untuk
pindah ke Paris, yang pada saat itu merupakan pusat seni, kebudayaan, dan
intelektual di Prancis. Ia meyakini bahwa dengan hidup di tengah para seniman,
intelektual, dan filsuf pencerahan, ia akan dapat mewujudkan impiannya untuk
menjadi seorang penulis dan aktivis.
Setibanya di Paris pada tahun 1770, Marie memutuskan
untuk mengadopsi nama baru, Olympe de Gouges, dengan tujuan untuk memberikan
kesan bahwa ia berasal dari keluarga bangsawan. Penggantian identitas ini
merupakan langkah strategis untuk merealisasikan ambisinya untuk tampil
mandiri, berpengaruh, dan menonjol dalam dunia yang sangat patriarkal. Olympe
memulai karier menulisnya dengan menciptakan karya-karya yang mengangkat
isu-isu sosial dan politik. Salah satu karyanya yang paling terkenal dan
diterima oleh masyarakat Prancis pada saat itu adalah *L'Esclavage des noirs
(Perbudakan Orang Kulit Hitam), sebuah drama yang mengkritik sistem perbudakan
dan menyerukan kesetaraan hak dalam berbagai aspek kehidupan sosial dan
masyarakat.
Selain itu, salah satu karya terkenal Olympe de Gouges
juga mengangkat isu-isu mengenai hak-hak perempuan. Bagi Olympe, perempuan
bukanlah sekadar pendukung laki-laki dalam struktur masyarakat, melainkan
individu yang mandiri dengan hak yang setara dalam bidang politik dan ekonomi.
Meskipun demikian, banyak karya Olympe yang tidak diterima oleh teater-teater
besar seperti Comédie-Française, karena dianggap terlalu radikal dan
bertentangan dengan hukum yang berlaku pada masa itu. Namun, hal ini tidak menyurutkan
semangatnya untuk terus mengkritik ketidakadilan sosial. Ia memanfaatkan
berbagai media lain, seperti pamflet, esai, dan surat terbuka, untuk mendukung
pesan yang terkandung dalam drama-drama yang telah ia ciptakan.
Gagasan mengenai kebebasan, kesetaraan, dan
rasionalitas yang diperjuangkan oleh filsuf-filsuf abad Pencerahan, seperti
Jean-Jacques Rousseau dan Voltaire, sangat memengaruhi Olympe dalam penciptaan
karyanya. Ia sangat mengagumi pemikiran-pemikiran mereka yang menantang
kekuasaan absolut dan menekankan hak-hak manusia serta keadilan sosial. Namun,
Olympe menyadari adanya kelemahan dalam teori-teori tersebut, khususnya terkait
dengan pengabaian terhadap hak-hak perempuan. Sebagai contoh, baik Rousseau maupun
Voltaire, meskipun mengemukakan gagasan-gagasan progresif tentang hak-hak
manusia, keduanya cenderung memperlakukan perempuan sebagai sekadar pendukung
laki-laki dalam kehidupan sosial. Voltaire, bahkan jarang sekali membahas isu
gender dalam karya-karyanya.
Marie de Gouges secara tegas menentang
pandangan-pandangan yang dikemukakan oleh para tokoh tersebut, dengan
menekankan bahwa prinsip-prinsip kesetaraan dan kebebasan harus diterapkan
secara universal dan inklusif. Ia berargumen bahwa jika perempuan dikecualikan
dari prinsip-prinsip tersebut, maka hal itu akan menciptakan ketidakadilan baru
yang bertentangan dengan tujuan utama dari Revolusi Prancis.
Setelah menerbitkan karyanya yang berjudul
*Déclaration des Droits de la Femme et de la Citoyenne* (Deklarasi Hak-Hak
Perempuan dan Warga Negara Perempuan) pada tahun 1791, ia terus menyuarakan
perjuangan untuk keadilan dan kesetaraan, meskipun pada waktu itu Prancis
sedang dilanda kekacauan pasca-Revolusi Industri. Posisi politiknya menjadi
kontroversial karena ia tidak ragu untuk mengkritik siapa pun yang dianggapnya
melanggar prinsip-prinsip keadilan. Secara khusus, ia menentang kelompok
Jacobin yang dipimpin oleh Robespierre, yang melakukan tindakan kekerasan
politik dan eksekusi massal sepanjang periode Teror.
Pada tahun 1793, Marie de Gouges dianggap sebagai
pengkhianat terhadap Revolusi Prancis dan ditangkap oleh pihak berwenang dengan
tuduhan terkait karya-karyanya yang mengkritik secara tajam Robespierre serta
kebijakan keamanan publik yang dianggapnya menyalahgunakan kekuasaan.
Pemerintahan Jacobin menganggap Marie sebagai ancaman serius bagi rezim yang
sedang berkuasa dan kemudian menggunakan pengadilan sebagai alat untuk
menanggulangi aktivitas politiknya. Selama proses peradilan, ia tidak diberikan
kesempatan untuk membela diri, mengingat sistem peradilan yang diterapkan oleh
pemerintahan Jacobin bersifat otoriter dan menindas siapa pun yang tengah
diadili.
Marie dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman mati
dengan guillotine. Ia dieksekusi di sebuah tempat yang dikenal sebagai Place de
la Révolution di Paris (sekarang disebut Place de la Concorde), yang sering
digunakan oleh pemerintahan Jacobin untuk mengeksekusi musuh-musuh politiknya.
Meskipun kematian sudah di ambang mata, Marie tetap teguh pada prinsip-prinsip
keadilan, kebebasan, dan kesetaraan, dan menolak untuk mengingkari
keyakinannya. Sebelum dieksekusi, ia mengungkapkan kalimat terakhirnya kepada pemerintah
Jacobin: “Les enfants de la patrie vengeront ma mort” (Anak-anak tanah air akan
membalas kematianku).
Penulis : Aditya
Ramadan
Editor : Danadyaksa, Vicky Sa'adah
Komentar
Posting Komentar