(Koleksi Twitter Petrus Hariyanto, 1 Februari 2024)
Sinar
merah adalah julukan bagi Partai Rakyat Demokratik. Partai Rakyat Demokratik
(PRD) lahir dari hasil Kongres Luar Biasa Persatuan Rakyat Demokratik tanggal
15 April 1996 di Sleman, Yogyakarta. Ketua Umum PRD terpilih saat itu adalah
Budiman Sutjatmiko, seorang aktivis mahasiswa yang lantang menentang Orde Baru.
Majalah Pembebasan No.1/Oktober 1996 dengan judul artikel “PRD Memang
Kiri” menyatakan bahwa asas PRD bukan Pancasila karena sadar itu adalah
ideologi negara yang memiliki kedudukan lebih tinggi. Miftahuddin dalam bukunya
Radikalisasi Pemuda: PRD Melawan Tirani menyatakan bahwa PRD menyusun
asas yang lebih spesifik, namun masih turunan dari Pancasila, yaitu sosial
demokrasi kerakyatan. PRD memiliki tujuan untuk
mewujudkan masyarakat adil dan makmur tanpa penindasan, baik manusia
atas manusia maupun penindasan bangsa antar bangsa.
PRD sejak awal kehadirannya telah membuat resah Orde
Baru. PRD memiliki musuh utama, yaitu sistem Orde Baru yang dinilai menyimpang,
seperti yang diberitakan oleh Majalah Pembebasan No.III/Januari 1997 dengan
judul artikel “Merebut Demokrasi Sejati” bahwa seluruh permasalahan masyarakat
terjadi karena sistem politik yang tidak demokratis dan berakar dari paket lima
UU Politik 1985 dan diberlakukannya Dwi Fungsi ABRI sebagai basis legitimasi
rezim.
Majalah Pembebasan No.I/Oktober 1996 dengan judul berita “PRD dan Gerakan Komunis”
menyatakan bahwa pemikiran dan aktivitas utama PRD memang terlihat lebih
prodemokrasi karena terinspirasi dari Sarekat Islam dan Tan Malaka. Agenda utama PRD adalah menyebarluaskan gagasan dan
program perjuangan PRD, membangun persatuan nasional, memperluas struktur
organisasi dan melakukan kaderisasi dengan pendidikan ideologi, politik, dan
organisasi. Vicky Verry Angga dalam tesisnya di Universitas Diponegoro tahun
2019 Pendobrak yang Terlupakan: Pergerakan Partai Rakyat Demokratik pada
Akhir Orde Baru sampai Awal Reformasi. 1994-2004 menyaebutkan bahwa PRD mengorganisir
rakyat dari pabrik, desa, kampung kota, perkebunan maupun kampus untuk
membentuk front demokrasi menentang Pemerintahan Orde Baru. Pada lingkup global,
PRD mengutus duta-duta untuk bicara di berbagai forum pada tingkat global
maupun regional.
Peter Kasenda dalam bukunya Peristiwa 27 Juli 1996:
Titik Balik Perlawanan Rakyat menyebutkan bahwa Pemerintah Orde Baru secara
sepihak menuduh PRD sebagai dalang atas Kudatuli 27 Juli 1996. Majalah
Pembebasan No.1/Oktober 1996 dengan judul artikel “Kambing Hitam, Fitnah,
Teror” juga memberitakan hal itu, bahkan pemerintah saat itu membuat opini
bahwa PRD adalah PKI yang hidup lagi melalui media-media massanya. Anggapan PRD
adalah PKI gaya baru dapat terjadi karena basis PRD yang memang merangkul buruh
tani, mahasiswa, serta mempunyai banyak underbow yang identik dengan
PKI. Istilah-istilah yang dipakai PRD konon katanya juga mirip PKI yang
seharusnya wajar dipakai oleh golongan demokrat-radikal, seperti Bung Karno
“Dibawah Bendera Revolusi” yang memakai istilah-istilah “progresif”,
“kapitalis”, “borjuis”, “revolusioner”, dan sebagainya. Rakyat juga dibuat benci terhadap PRD dan
organisasi lain yang berpandangan demokratis. Pasca kejadian itu, PRD mulai
dilarang oleh pemerintah tanggal 30 Oktober 1996. Tetapi pimpinan PRD
mengeluarkan intruksi dalam penjara kepada seluruh kadernya untuk terus
bergerak meskipun dalam kondisi represif karena status PRD dan ormas-ormasnya
dinyatakan ilegal.
Perjuangan PRD dalam mengedukasi massa di pedesaan
Nganjuk memang terjadi pasca peristiwa Kudatuli 27 Juli 1996. Media Jawa Pos dengan judul berita “Aktivis PRD
Jatim Diciduk Saat KKN” memberitakan tentang adanya aktivis PRD yang ditangkap saat
KKN di Desa Tawang, Kecamatan Gondang, Nganjuk oleh tim pelacak dari ABRI
Tingkat I maupun kabupaten pada 13 Agustus 1996. Aktivis PRD tersebut
menurut ABRI bernama Wahyu Wiyanarko, mahasiswa berusia 24 tahun asal Jalan Gatot
Subroto, Kabupaten Jombang. Wahyu terindikasi telah melakukan penanaman
ideologi dan pengaruhnya (pencerdasan masyarakat) di lingkungan setempat, yaitu
lingkungan Desa Tawang, Kecamatan Gondang, Nganjuk.
HS
(nama samaran), seorang pemuda dari Desa Campur, Kecamatan Gondang, Nganjuk
juga mengaku pernah didatangi rumahnya oleh Koramil Kecamatan Gondang. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1997 pasca kerusuhan
di Jakarta, yaitu Kudatuli 27 Juli 1996. Menurut HS dalam wawancara tanggal 4
September 2023, seseorang yang paling dicari oleh aparat saat itu adalah
mahasiswa-mahasiswa yang telah di drop out dari kampus. Para mahasiswa drop-out
dari kampus dalam pandangan aparat berkemungkinan besar bergabung dalam PRD
untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah. HS juga menambahkan bahwa penyisiran
aparat yang bertujuan menangkap aktivis PRD di Nganjuk sangat banyak, bahkan
hampir seluruh kecamatan yang ada.
Program edukasi massa di pedesaan Nganjuk merupakan
strategi pengerahan massa dalam jumlah besar bertujuan untuk membentuk front perjuangan
melawan Orde Baru. Majalah Pembebasan No.III/Januari 1997 dengan judul
artikel “Front yang Dapat Menggerakkan Massa” menyatakan bahwa telah tiba
waktunya bagi kaum demokrasi menyatukan perjuangannya dalam satu wadah front
perjuangan. Sebuah perjuangan untuk melawan beragam penindasan. Penyatuan
seluruh kelompok yang prodemokrasi harus segera diwujudkan karena berjuang secara
sendiri-sendiri dinilai kurang efektif. Perjuangan sendiri-sendiri juga sering membuat
gesekan antar sesamanya, sehingga melemahkan kelompok prodemokrasi itu sendiri.
Program perjuangan bersama juga mustahil dapat mendesak Orde Baru jika
diperjuangkan oleh satu atau dua organisasi. Berdasarkan alasan tersebut maka front
perjuangan adalah prioritas PRD. Majalah Pembebasan No.III/Januari 1997 dengan
judul artikel “Merebut Demokrasi Sejati” menyatakan bahwa Peristiwa 27 Juli
merupakan suatu refleksi dan angin segar bagi PRD karena massa rakyat yang
selama ini tertindas ternyata masih memiliki kekuatan besar untuk melawan. PRD
merasa tidak berhasil memimpin dan mengorganisir massa tersebut. Peristiwa itu
menjadi cerminan bagi PRD untuk membentuk dan mengarahkan berbagai massa
prodemokrasi untuk meniadakan penindasan, termasuk pion-pion Orde Baru di
desa-desa.
Sepak terjang PRD
di Nganjuk ternyata masih berlanjut. Harian Analisa dengan judul berita
“Ditemukan, Selebaran Ajak Boikot Pemilu dari PRD” (21/5/1997) memberitakan
telah ditemukannya selebaran kertas yang berisi ajakan untuk memboikot Pemilu
1997 dari PRD pada 18 Mei 1997. Selebaran itu dilaporkan ke Sospol Nganjuk oleh pemuda yang bernama
Irawan dan Tono saat bermain gitar setelah menerima selebaran dari pria bernama
Tjandra Adi Purnama. Selebaran itu ditandatangani oleh Mirah Mahardika di
Jakarta tanggal 25 Maret 1997. Isinya adalah ajakan boikot Pemilu 1997,
membentuk koalisi demokratik kerakyatan, dan mengangkat presiden baru. Menurut
selebaran itu, pemilu telah direkayasa sedemikian rupa sehingga tidak dapat
digunakan sebagai alat penyampai aspirasi rakyat.
PRD
menganggap Pemilu 1997 adalah alat untuk membohongi rakyat karena seolah-olah
rakyat dapat menyalurkan aspirasinya, seolah-olah pula dipilih oleh orang-orang
yang mewakili rakyat, dan seolah-olah pemerintah itu berdasar atas suara
rakyat. PRD memboikot Pemilu 1997 dengan alasan tidak disertakannya PDI yang
sebenarnya sebagai OPP dan malah menyertakan PDI “Kerbau” Soerjadi. PRD juga
menganggap bahwa PDI “Kerbau” adalah alat penguasa untuk menidas rakyat. Pemilu
sejati menurut PRD adalah pemilu yang menyertakan PDI asli sebagai OPP,
pencabutan lima UU Politik, dan pencabutan Dwi Fungsi ABRI. Rezim akan dengan
mudahnya menyelewengkan Pemilu 1997 jika lima UU Politik dan Dwi Fungsi ABRI
tidak dicabut. Pernyataan tersebut tercantum dalam Majalah Pembebasan
No.IV/Februari 1997 dengan judul artikel “Boikot Pemilu sampai Ada
Demokrasi di Indonesia”.
Setelah
sekian lama, akhirnya gerakan sosial yang menuntut diadakannya reformasi
terjadi tahun 1998. Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya karena
sudah lama kehilangan legitimasi dan nilai prestise dirinya. Gerakan reformasi
tidak hanya bergulir di kota-kota besar, namun juga menyebar ke berbagai
daerah. Fenomena itu disebut sebagai “transisi reformasi”. Nur Sayyid dalam
bukunya Gerakan Sosial: Pemberdayaan Masyarakat Sipil menyebutkan bahwa
transisi reformasi adalah bentuk kebangkitan rakyat pedesaan setelah sekian
lama hidup dalam kondisi tertekan.
PRD
lagi-lagi memberikan doktrin penyemangat bagi para aktivis reformasi, termasuk
di pedesaan. Doktrin tersebut disebutkan dalam Majalah Pembebasan
No.8/Th.III/1-15 September 1998 dengan judul artikel “Radikalisme Masuk
Desa” yang berbunyi “Aksi massa adalah kunci! Jangan pernah berhenti melakukan
aksi-massa. Ingat, para pendukung Soeharto masih bercongkol di DPR/MPR, seluruh
jajaran ABRI, departemen-departemen, pemerintahan-pemerintahan daerah sampai
kelurahan-kelurahan. Tuntaskan reformasi dengan aksi-aksi massa!” Aksi gerakan
reformasi di pedesaan Nganjuk memang terjadi pada Juni-Juli 1998. Wahyu Mada
Kuncoro Sakti dalam skripsinya di Universitas Diponegoro tahun 2024 dengan
judul Reformasi Desa: Pelengseran Pejabat Desa di Nganjuk 1998 Studi Kasus
di Desa Kedondong, Desa Campur, dan Desa Kedungsoko menyebutkan bahwa dari
seluruh desa yang ada di Nganjuk, tidak kurang dari 115 desa yang bergejolak.
Penyebabnya sangat beragam, seperti: penyalahgunaan kekuasaan, tindak “KKN”,
sifat otoriter pejabat desa, permasalahan pribadi, dan sebagainya.
Penyalahgunaan kekuasaan dan tindak “KKN” sangat berhubungan erat dengan
kekuasaan pusat Orde Baru. Saat itu desa mengikuti aturan-aturan yang berlaku
dari pemerintah pusat dan disesuaikan dengan kondisi-kondisi setiap desa. Desa
menjadi objek kepentingan pusat daripada kepentingan masyarakat itu sendiri.
Penulis: Wahyu Mada Kuncoro Sakti, (seorang mahasiswa S1 Sejarah Universitas Diponegoro 2020)
Sumber:
keren
BalasHapus