Ilustrasi: Rizky Hidayatulloh |
Pada pertengahan Januari 2024, jagat media sosial dihebohkan dengan sebuah unggahan video. Video unggahan akun Instagram Erwin Aksa tersebut menampilkan sosok Presiden Republik Indonesia kedua (Soeharto) yang “dibangkitkan kembali” menggunakan teknologi artificial intellegence (AI). Dalam video tersebut, terlihat “Soeharto” versi AI mengajak segenap lapisan masyarakat agar memilih calon wakil rakyat dari Partai Golkar.
Pasca-diunggahnya video Soeharto versi AI tersebut, jagat Instagram terbelah menjadi dua kubu. Kubu pertama menilai bahwa penggunaan AI merupakan sesuatu yang kreatif. Ini dilihat sebagai hasil dari kemajuan teknologi yang memberikan manfaat positif bagi kehidupan manusia.
Di sisi lain, sebagian kalangan menilai bahwa “membangkitkan kembali” Soeharto melalui AI merupakan tindakan yang tidak etis. Mereka berpendapat bahwa menggunakan orang yang telah meninggal dunia kurang ber-etika bila digunakan sebagai sarana kampanye.
Namun, ada satu hal menarik ketika saya melihat isu ini adalah adanya sekelompok kecil masyarakat Indonesia yang menyinggung kebangkitan Orde Baru. Mereka menilai, Soeharto yang “dibangkitkan kembali” merupakan pertanda kebangkitan Orde Baru dimana dituding merupakan bahaya laten terhadap kultur demokrasi bebas saat ini.
Ketakutan tersebut beralasan, meski menurut hemat saya Indonesia masih berada pada pengaruh Orde Baru yang sangat kuat. Pengaruh tersebut sangat terasa hingga kini dalam bentuk konstruksi historiografi Indonesia. Mengapa demikian?
Historiografi Orde Baru (Orba) dibangun dengan peristiwa G30S. Dalam rekonstruksi Orba, pelaku utama peristiwa tersebut adalah PKI. Mereka mewujudkan hal tersebut dengan menciptakan terminologi baru, yakni G30S/PKI, untuk melegitimasi dan mengakarkan narasi bahwa PKI merupakan dalang peristiwa berdarah tersebut.
Propaganda Orde Baru dalam menciptakan narasi mengenai PKI diwujudkan dalam berbagai media populer. Salah satu media yang terkenal dan hingga kini mendapatkan kekuatan kembali adalah film. Hal itu berkat film Pengkhianatan G30S/PKI (1984) yang ditayangkan secara serentak pada 30 September malam dan dipaksakan kepada seluruh lapisan masyarakat. Orba sukses menanamkan hantu bahaya laten komunis dalam mentalitas kolektif masyarakat Indonesia.
Ketika Orde Baru runtuh, gelombang reformasi terhadap historiografi Indonesia bermunculan. Salah satunya, melalui gerakan pelurusan sejarah yang dicetuskan Asvi Warman Adam. Narasi G30S dengan melihat lebih luas PKI, bergema. PKI oleh Asvi tidak dilihat sebagai pelaku. Kini, mereka dipandang sebagai korban pesakitan rezim Orba.
Meski begitu, gelombang pelurusan sejarah belum berhasil menembus historiografi nasional. Pada pertengahan 2000-an, terjadi gelombang penarikan dan pembakaran buku ajar sejarah tingkat SMP dan SMA. Buku-buku tersebut dituding menyebarkan kisah menyesatkan mengenai G30S, meski yang dilakukan buku tersebut hanya menggunakan terminologi G30S tanpa “/PKI”, alias terminologi sesuai secara historis. Gerakan tersebut, menurut sebuah makalah Putu Prima Cahyadi, diprotes banyak kalangan karena dianggap berlebihan dan membunuh iklim kritis generasi muda.
Kondisi ini mendatangkan kesulitan bagi penyelesaian peristiwa G30S. Sebagaimana diungkapkan oleh Staf Divisi Advokasi Kontras, Tioria Pretty, dalam sebuah artikel Kompas.com. Ia menyebutkan bahwa sikap antipati masyarakat pada komunisme sudah begitu dalam. Para penyintas yang dianggap sebagai simpatisan PKI pun kerap mendapatkan stigma negatif dan menjadi korban diskriminasi.
Sebagian lainnya, terutama mereka yang berada di negara blok kiri pada 1960-an, terjebak dan tidak dapat kembali ke tanah air seperti yang dituangkan dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori. Mereka yang dituduh sebagai simpatisan PKI memutuskan kabur ke luar negeri menghindari perburuan dan menjadi eksil politik. Hak mereka sebagai warga negara dicabut, dan mereka dilarang pulang ke tanah airnya sendiri.
Hingga kini, belum ada upaya serius pemerintah untuk melakukan pemaknaan ulang atas historiografi nasional. Pengaruh Orba masih terasa sangat kuat, dan pembicaraan mengenai PKI kerap kali muncul menjelang 30 September setiap tahun. Isu yang dibahas terkesan monoton karena hanya berputar pada pertanyaan “siapakah dalang peristiwa G30S?” alih-alih melakukan pengupasan secara kritis.
Sebagaimana yang diberitakan Detik, Jokowi sendiri pernah berwacana memproduksi ulang film G30S. Jokowi menginginkan agar penyajian film ini tampil kekinian agar cocok dengan generasi milenial dan mampu dipahami oleh mereka. Namun, upaya Jokowi mewujudkan sebuah film G30S rasa milenial beberapa tahun lalu hanya menjadi bualan semata, tanpa ada realisasi apapun.
Lantas, apakah pengaruh Orde Baru dalam historiografi Indonesia dapat sirna?
Sebenarnya, hal tersebut dapat dilakukan. Hanya saja, pemerintah masih belum tergerak mewujudkannya. Untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintah harus melakukan perombakan sejarah besar-besaran, dimulai dari kurikulum sekolah dan buku sejarah nasional. Namun, pemerintah seperti kehilangan arah untuk melakukan hal tersebut dan memilih bertahan dalam status quo.
Sejauh ini, belum terlihat seorang pemimpin yang berani melakukan reformasi terhadap historiografi Indonesia. Mereka sepertinya belum melihat isu sejarah sebagai isu penting dibandingkan dengan isu ekonomi, yang dianggap lebih berdampak bagi masyarakat dan mampu meredam gejolak di tingkat bawah.
Padahal, seperti yang diungkapkan Marc Ferro dalam buku The Use and Abuse of History, sejarah yang baik adalah sejarah yang mampu memberikan pemahaman luas bagi masyarakat. Pemahaman yang mampu mengajak mereka untuk berpikir lebih jauh tentang diri mereka.
Referensi
Anonim. (2021). “Diwacanakan Jokowi, Apa Kabar Remake Film G30S/PKI?”. detiknews. https://news.detik.com/berita/d-5746984/diwacanakan-jokowi-apa-kabar-remake-film-g30s-pki/. Diakses pada 22 Januari 2024.
Cahyadi, Putu Prima. (2021). “’Pokoknya PKI Harus Dituliskan!’: Pembakaran dan Penarikan Buku Ajar Sejarah 2005-2007”. Makalah Tidak Diterbitkan. https://www.researchgate.net/publication/350783441_Pokoknya_PKI_Harus_Dituliskan_Pembakaran_dan_Penarikan_Buku_Ajar_Sejarah_2005-2007. Diakses pada 22 Januari 2024.
Cahyadi, Putu Prima. (2023). “Buku Ajar Sejarah dan ‘Abuse’ Negara di Baliknya”. Historical Meaning. https://historicalmeaning.id/buku-ajar-sejarah-dan-abuse-negara-di-baliknya/. Diakses pada 22 Januari 2024.
Chudori, Leila S. (2013). Pulang: Sebuah Novel. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Guritno, Tatang & Diamanty Meiliana. (2021). “Ketakutan Masyarakat pada Komunisme yang Dibuat Orde Baru Menjadi Salah Satu Kesulitan Penyelesaian Tragedi 1965”. Kompas.com. https://nasional.kompas.com/read/2021/10/01/19145761/ketakutan-masyarakat-pada-komunisme-yang-dibuat-orde-baru-menjadi-salah-satu. Diakses pada 22 Januari 2024.
Penulis: Indra Nanda Awalludin
Editor: Danadyaksa Wicaksono Merdeka, Vicky Sa'adah
Penuli
Komentar
Posting Komentar