Lagu Sabarthan #2: Taman Bunga Temu Mesra

 


Penulis: Auriel Aldina Cahyono


Aku membuat teman-temanku heran dengan menghabiskan waktu lebih banyak bersama perempuan asing yang belum lama ini kukenal. Biasanya kalau malam aku bakal menyempatkan waktu ke kafe pamanku di sudut kota Leiden dan bermain band bersama mereka. Tapi belakangan ini aku jarang berkunjung karena ingin menemani Lagu.


“yang mana sih Napoleon itu,” Achilles bercelatuk waktu kami makan di kafetaria. Mereka menyoraki aku pengkhianat begitu aku datang dan duduk di meja mereka. Giliran gebetanku enggak ada, baru mencari mereka.

“yang pendek banget terus rambutnya panjang sampai sini,” Percival menepuk-nepuk pinggangnya.

“memang cantik banget ya?”

“menurut aku sih enggak. Memang selera Sabarthan saja yang perlu dipertanyakan.”


Aku mengabaikan mereka. Melempar kentang goreng ke muka Achilles sebelum dia bicara lebih banyak soal aku dan Lagu.


Di bulan kedua pertemanan kami, aku mengajak Lagu ke tempat yang lebih jauh. Bukan lagi di wilayah Leiden, tapi ke sebuah desa bernama Lisse. Mereka menjuluki Lisse desa bunga. Ada tempat bernama De Zwarte Tulp Museum di sana. Lagu benar-benar senang. Aku menggenggam tangannya karena takut dia akan hilang. Sesuai dugaanku, Lagu segera menarik aku ke Museum Tulip Hitam. Museum ini merupakan tempat yang tepat bagi orang yang suka bunga seperti Lagu. Mereka menyimpan koleksi bersejarah dalam perjalanan perkembangan bunga-bunga di Belanda. Yang paling banyak dibahas bunga Tulip tentunya. Bunga kebanggaan kami. Aku sibuk mengamati bunga-bunga yang diawetkan di dalam botol kaca berisi cairan kimia ketika aku menyadari Lagu tidak ada disampingiku. Saat kucari-cari, aku menemukan Lagu berdiri di depan pintu besar yang terbuka dan diterpa cahaya berwarna kuning. Tadinya kukira itu cahaya matahari yang dibiaskan oleh tirai kuning, tapi ketika aku sampai di sana, di hadapan kami membentang lorong panjang yang terbuat dari bunga-bunga goudenregen. Spesies bunga kuning yang cabang dan bunganya agak mirip wisteria. Sehingga di beberapa tempat seperti di museum ini, mereka bisa ditata sedemikian rupa membentuk lorong atau langit-langit yang dihujani bunga.


Lagu termangu di sana. Wajahnya menorehkan rasa tidak percaya, tapi juga kesedihan. Ada sendu di matanya waktu dia berjalan ke lorong bunga kuning itu dan meraih sekuntum yang gugur ke tanah.


goudenregen,” kataku. Dia menoleh. “ini namanya bunga goudenregen.”

“the golden rain tree,” Lagu mengucapkannya dengan fasih. “di Inggris mereka disebut begitu.

“kamu tahu banyak soal bunga ya.”

“enggak juga, aku Cuma mempelajari yang aku suka.” Lagu berjalan di depanku. Tidak menunggu aku karena sepertinya dia tau aku bakal mengikuti.


“kamu suka bunga ini? Ibuku enggak suka,” aku mengusak-usak hidung. Mengingat wajah berkerut Ibuku tiap kali melihat pohon goudenregen di halaman rumah adiknya. “mungkin karena yang di rumah bibiku enggak ditata serapi ini. Mama suka bilang goudenregen jelek. Menanam bunga di taman kok yang doanya enggak baik, itu katanya.”


“bunga hujan emas punya makna ganda. Makanya, kalo ada orang yang mengerti bahasa bunga tapi pengen membingungkan orang lain, mereka biasanya mengirim bunga ini sebagai hadiah.”


“memang artinya apa?”


Lagu berhenti melangkah. Dia berbalik, mematri pandangannya padaku. Sorot matanya tidak bisa kubaca walau di bibirnya terukir senyum lembut.


they’re poisonous flowers that stand for pensive beauty... and forsaken.”


Lagu memberi jeda dalam jawabannya. Aku menyadari sesuatu yang membuatku tidak nyaman. Dia kembali melangkah sebelum aku sempat bertanya lagi. Masih mengamati bunga-bunga cantik yang bergelantungan mirip hujan yang airnya berwarna emas.


“apa mereka punya nama lain?”

“mm. Pohon rantai emas. The golden chain tree, cytise, goldregen.”

beside that?”


“laburnum,” Lagu menjawab tanpa menoleh. Tangannya bertautan di belakang punggung. Bertemu helai rambutnya yang jatuh dan bergoyang setiap kali dia melangkah. Dia tidak berbalik lagi bahkan sampai kami tiba di ujung lorong. Seakan dia tidak mau aku melihat bagaimana wajah yang dia pasang meski suaranya terdengar ceria.


They’re poisonous flowers that stand for pensive beauty and  forsaken.


Lagu masih tertawa dan tersenyum dalam sisa perjalanan kami di Lisse. Dia tertidur di pundakku. Meninggalkan aku merenungkan Lagu dan bunga Laburnum. Lagu dan Laburnum itu kombinasi nama yang aneh buat orang Indonesia. Walaupun orang Indonesia secara umum punya kecenderungan pemberian nama yang sudah dari sanonya aneh dan tanpa aturan, tapi tetap saja, Lagu Laburnum itu ada di level eksentrik yang enggak bisa aku cerna.


Lagu enggak protes waktu aku menggenggam tangannya sepanjang perjalanan kami ke asrama tempat Lagu menetap selama di Belanda. Di depan asrama, kami bertatapan. Ada banyak yang pengen aku tanyai ke Lagu. Kenapa kamu tahu banyak soal bunga? Kenapa bunga hujan emas membuat kamu sedih? Kenapa penjelasan kamu enggak masuk akal? Kenapa kamu harus seemosional itu hanya karena bunga? Apa itu karena nama? Atau hanya karena kamu itu kelewat sentimental saja?


Lagu menunggu. Dia tahu aku ingin mengatakan sesuatu dan diam di sebelahku. Menunggu aku punya keberanian untuk mengutarakan isi kepalaku. Tapi aku menggeleng. Merendah dan mencium lembut kening Lagu yang menegang dalam genggamanku.


goedenacht.”


...


“kamu habis ditolak ya?”


Aku mendelik. Achilles segera bersimpuh, membuat gestur memohon ampun.


 Percival tergelak, “tumben berpikiran buat datang. Apa aku harus bilang long time no see? Kita baru mau mencari vokalis baru loh. Vokalis band ini sibuk mengejar-ngejar perempuan sampai manggung saja di skip.


“tolong loh, baru juga dua bulan.”

“baru dua bulan pantatmu. Dua bulan itu aku yang cuma bisa main drum memojok enggak bisa manggung. Percy main piano sendiri kayak orang sinting. Bubar saja bubar. Vokalis kita sudah dapat pacar.”

“mentang-mentang kita manggung di kafe pamanmu. Ya, udalah, kalau kita bubar kamu masih bisa kerja jadi pelayan di sini. Biarkan aku dan Achilles menikmati pengangguran.”


“kalian semua teman-teman enggak berguna.” Aku menyalakan mic dan menghadap pengunjung kafe. Mengambil ancang-ancang untuk bernyanyi sembari menunggu ketukan stik drum Achilles. Dia bisa aja mencari kerja sampingan nge-drum buat band lain selama aku enggak ada tapi memilih mojok kayak orang enggak punya hidup. Itu pilihannya.


Stik drum diketuk, piano berdenting, gitar kupetik.


Kafe bernama Tot Straks milik pamanku ini buka sampai tengah malam. Kami sudah bernyanyi di sini sejak band kami terbentuk di SMA. Aku, Achilles dan Percival. Tiga serangkai tolol ―kata Mama― yang hobi membuat orang tua kami sakit kepala dengan kenakalan kami. Ketololan kami ternyata bisa diobati setelah kami mengenal dunia musik. Kami jadi punya penghasilan sendiri, jajaran perempuan yang menunggu untuk dipacari dan pelampiasan emosi.


Sebenarnya, di antara kami bertiga, cuma aku yang masih baru di dunia musik. Aku bermain gitar karena dorongan dari Percival dan Achilles. Katanya aku sampah. Paling sampah di antara kami bertiga. Sebagai tiga serangkai seharusnya kami punya bakat yang sama. Aku menukas kalau kami punya bakat serupa di bidang olahraga ―bahkan kalo sudah ngomong olahraga, aku lebih jago dari mereka― tapi mereka enggak mau dengar dan merecoki aku terus soal belajar gitar. Karena telingaku pengang, aku menurut. Aku belajar gitar di bawah cercaan dan hinaan teman-temanku yang brengsek tapi loyal dan bermanfaat. Setelah itu aku mengejutkan semua orang dan diriku sendiri dengan nyanyianku.


“kamu ternyata enggak begitu sampah.” Achilles menyeka air mata ghaibnya. Pura-pura terharu.

“Cuma kalian yang menyebut aku sampah.”

“enggak. Mama kamu juga.”

“Mamaku itu setan―”

“TANTE-TANTE! ARTHAN BARU AJA MANGGIL TANTE SETAN!”

“KALIAN EMANG TEMAN-TEMEN BRENGSEK!”

“AKU NGGAK NGOMONG APA-APA DARI TADI HEH!”


Mereka brengsek. Tapi mereka sahabatku. Jadi setelah bernyanyi sampai mulutku rasanya sudah mulai berbusa, kami duduk di meja pojok dekat jendela. Tempat kesukaan kami yang diberi tanda untuk staf oleh pamanku.


“aku habis mengajak Lagu jalan-jalan ke Lisse.”

“Bukannya dia Napoleon?”

“Panggilannya Lagu ―jangan coba-coba diucap in! Kalau kalian yang mengucap nama dia jadi kedengaran aneh.”

“Napoleon,” Achilles menatapku dengan mata berbinar. Aku memandang Achilles jijik.

“―terserah. Kemarin aku mengajak Lagu ke Lisse soalnya dia suka bunga. Terus di sana kita melihat bunga goudenregen. Goudenregen itu artinya sama kayak nama belakang Lagu, terus dia jadi sedih.”

“....nama belakang pacar kamu goudenregen?”

“nama belakangnya Laburnum, tapi kalo disini kita nyebut tanaman itu goudenregen ―terus aku sama dia belum pacaran.”


Achilles terbatuk, “uhu-uhuku. Belum.”


Percival membuat suara ah. sambil mangut-mangut, “yang jadi masalah apa?”


“dia kelihatan rumit pas kita ngomong in bunga itu. Aku pikir mungkin ada kaitannya sama nama dia,” aku menggidikkan bahu. “enggak tahu. Aku juga bingung. Dia tahu banyak soal bunga, jadi mungkin bunga ada arti pentingnya buat dia. Atau dia memang Cuma suka bunga dan artinya saja? Aku bingung!”


“santai. Banyak perempuan di dunia ini yang mau sama kamu. Kalau enggak ada Napoleon Bonaparte nanti kita cari Daendles.”


Aku mengambil ancang-ancang untuk melempar gelas. Achilles meringkuk.


“menurutku harusnya itu bukan sesuatu yang harus kamu pikiri sih,” Percival yang tumben sedang waras bercelatuk. “respon dia emang kedengaran agak dramatis buat aku. Tapi bukan yang... sampai harus bikin kamu overthingking. Ya mungkin itu ada kaitannya sama nama dia, tapi ya kan sudah itu saja? Enggak mempengaruhi eksistensi atau identitas dia sebagai individu. Kecuali kalau kamu mau aku ingatkan,” Percival menyesap americanonya yang pahit kemudian menatap aku lamat-lamat, “kamu lagi mengejar mahasiswa pertukaran pelajar yang enggak bakal ada di Belanda empat bulan lagi.”


“aku blasteran Indonesia-Belanda. Di Indonesia aku punya rumah.”

“kamu mau mengejar dia sampai ke Indonesia?”

“kenapa enggak?”


Percival tertawa mencemooh, “memang dia mau kamu kejar? Maksudku, enggak semua perempuan suka perjuangan laki-laki yang kayak gitu. Banyak yang malah menganggap perbuatan yang sudah ada di kepala kamu itu mendramatisi. Paham dulu orangnya kayak mana. Jangan sekonyong-konyong tiba-tiba bilang mau mengejar dia sampai Indonesia. Kalau ternyata di Indonesia dia sudah punya pacar?”


“dia masih single. Dia perempuan baik. Mending dicoba dulu baru menyerah.”


“aku enggak peduli perempuan mana yang kamu kejar selama kamu realistis,”Percival mengeluarkan rokok, memantik batang tembakau itu lalu menyesapnya dalam-dalam. Ia menghembuskan asap rokok ke wajahku, “aku malas liat kamu kacau gara-gara wanita.”


Perkataan Percival bukan tanpa alasan. Aku pernah pacaran waktu SMA. Dia perempuan tercantik di sekolahku tapi enggak yang terbaik. Dia selingkuh dengan laki-laki dari sekolah lain. Yang membuat Percival dan Achilles khawatir soal hubunganku dengan perempuan adalah sekalinya aku suka sama orang, mereka bakal aku perjuangkan mati-matian. Aku ini suka perempuan lembut. Mereka yang kelihatan seperti bunga yang rapuh. Yang membuat aku pengen melindungi mereka dan menjauhkan mereka dari mara bahaya. Maria, mantanku waktu SMA itu perempuan yang seperti itu. Dia bukannya menipuku dengan paras dan perangainya yang halus, akunya saja yang kebanyakan bermimpi bisa punya kisah cinta seindah novel. Ekspektasiku hancur, aku disakiti dan aku terluka.


Mamaku bukan perempuan lembut. Beliau keras, sama kerasnya dengan Papaku. Bukan berarti Mama bukan Mama yang baik. Mama punya kekurangan dan kelebihan. Salah satu kekurangannya adalah temperamen tinggi dan lidah asal kecap yang memberiku pengalaman traumatis semasa kecil. Aku baru bisa terbiasa dan mampu menghadapi lisan penuh kritik Mama waktu SMA kelas tiga. Pun Mama juga mulai reda dan menyadari kesalahannya. Itu butuh proses yang lama. Lama dan menyakitkan. Waktu Mama dan Papa sering memarahi aku soal apa pun dan mengkritik segala sesuatu tentang diriku, pelarianku adalah novel.


Novel-novel romansa itu genre kesukaanku. Aku suka membayangkan hidup di masa depan bersama keluarga kecilku yang sederhana tapi bahagia. Aku ingin menjadi Ayah yang bijak dan punya pasangan yang bisa menjadi pendukung dengan hati dan perangai mereka yang lembut. Mereka yang bertutur kata halus pada anak-anak. Tidak seperti Ibuku yang sedikit-sedikit marah. Mama bukannya jahat. Mama dibesarkan begitu. Mama Cuma tahu apa yang diajari orang tuanya. Mama tidak salah. Tapi Mama yang tidak bisa disalahkan itu juga yang menyakitiku. Ketidaktahuan Mama memberi aku luka. Dan keinginanku untuk hidup lebih baik juga melukaiku.


Aku tidak bicara lagi. Merenungkan kata-kata Percival.


Sesampainya di rumah, aku merasakan deja vu waktu berbaring di tempat tidurku. Dua bulan yang lalu aku melakukan hal yang sama. Bukan merenungkan perkataan Percival tapi merenungkan aroma manis dan lembut Lagu. Setelah aku bilang padanya aku suka parfumnya yang manis dan lembut sebelum ganti parfum melati, dia tertawa pelan dan berkata kalau itu aroma bunga cherryblossom. Aromanya manis dan lembut. Seperti tipikal perempuan yang kerap menarik perhatianku.


Bunga cherryblossom, bunga merah jambu itu kecil dan rapuh. Halus dan lembut. Seperti Lagu. Mungkin itu yang membuat aku tertarik padanya sejak awal. Aku merasa, dia membutuhkan seseorang untuk dijadikan pegangan tapi tidak punya dan tidak berani meminta.


Aku ingin tahu kenapa dia sedih. Memikirkan aku menyukainya tapi aku bahkan tidak tahu arti namanya membuat harga diriku sebagai laki-laki terasa diinjak-injak.Aku mengusak wajahku frustrasi. Dosis novel romansa yang kubaca sepertinya harus dikurangi.


Pengulas: Safrida Santriyani

Editor: Fajar Wahyu S.

Publikasi: Tim Sanskerta Online 2022


Komentar

Posting Komentar