Raden Ronggo Mataram Si Tengil Sakti yang Mati Muda



Jauh di pedalaman jantung Pulau Jawa, berdirilah sebuah kerajaan yang dikenal dengan nama Kerajaan Mataram Islam. Sebuah kerajaan yang berdiri di atas tanah perdikan Alas Mentaok. Tanah tersebut merupakan hadiah dari Sultan Hadiwijaya kepada Ki Ageng Pamanahan karena telah berhasil mengalahkan Arya Penangsang dari Jipang. Bersama dengan orang–orang Hindu dari Prambanan, Ki Ageng Pamanahan membangun Mataram dengan memadukan unsur-unsur kebudayaan Hindu dan Islam. Walaupun saat itu Mataram berada di bawah Kerajaan Pajang, tetapi perkembangannya jauh lebih pesat dari kerajaan pusatnya. Mataram sendiri bergerak di sektor perdagangan dan merupakan wilayah agraris.

Setelah Ki Ageng Pamanahan wafat pada tahun 1584 M, beliau digantikan oleh putra angkatnya yang bernama Sutawijaya. Sutawijaya merupakan seorang yang ahli dalam strategi perang dan kesaktiannya yang tak bisa dianggap remeh. Hal ini dibuktikan dengan keberhasilannya menaklukkan Pajang dan menjadikan Mataram sebagai kerajaan yang merdeka. Kesaktiannya ini diturunkan pula ke anaknya yang bernama Raden Ronggo. Raden Ronggo merupakan salah satu putra dari Panembahan Senopati (Sutawijaya), yang juga sama-sama mempunyai kesaktian. Menurut mitos yang berkembang di masyarakat, ibu dari Raden Ronggo adalah Nyi Roro Kidul. 

Seperti yang kita ketahui, bahwa raja-raja Mataram diceritakan memiliki kedekatan dengan Ratu Pantai Selatan. Pada masa kecilnya, Raden Ronggo mulai menunjukkan tanda-tanda kesaktian. Hal tersebut bukan tanpa sebab, karena Raden Ronggo sendiri merupakan hasil perkawinan dari dua sosok yang memiliki kesaktian yang tinggi. Namun, kesaktiannya membuat Raden Ronggo bertindak sewenang-wenang. Jika ada yang membantah atau menghalanginya, maka akan dilawan dengan kesaktian yang dimilikinya. Tak segan-segan ia akan menyiksa, menindas, atau membunuh siapa pun yang berani menantangnya. Hal ini jelas membuat resah masyarakat Mataram.

Keresahan rakyat Mataram terdengar sampai ke telinga Panembahan Senopati. Ia merasa khawatir dan juga sedih mengetahui perilaku tercela anaknya terhadap rakyat Mataram. Sebagai seorang raja yang arif dan bijaksana, Panembahan Senopati tak rikuh untuk menghukum siapa pun yang melanggar peraturan, tak terkecuali anaknya sendiri.

Kelaliman Raden Ronggo dan Akhir Hidupnya

Tindakan Raden Ronggo yang sewenang-wenang menyebabkan keresahan bagi masyarakat Mataram. Suatu ketika pada siang hari, Raden Ronggo yang sedang berjalan–jalan, tiba-tiba mengamuk untuk menunjukkan kehebatannya. Saking congkaknya, ia mencabut pohon besar yang ada di dekatnya. Melihat hal itu, masyarakat sekitar terkejut dan terheran-heran dengan kelakuan Raden Ronggo. Kemudian, datanglah seorang prajurit untuk menyampaikan titah dari Senopati. Namun, Raden Ronggo malah mengadukan kepalanya dengan kepala prajurit hingga kepala prajurit tersebut nyaris pecah.

Saat Raden Ronggo sampai di Kadipaten Pati, ia melihat sebuah tombak tersandar di dinding rumah yang berlukiskan seekor harimau. Raden Ronggo pun berseru, “Apakah ada seorang yang lebih sakti?”. Seusai seruan tersebut, Raden Ronggo langsung mengambil tombak tadi dan menghujamkan ke dadanya sendiri. Akan tetapi, hal tersebut tidak sedikit pun mampu melukai Raden Ronggo. Sontak para prajurit terpanah dengan kesaktian yang dimiliki oleh Raden Ronggo. Ihwal lainnya tentang Raden Ronggo, yaitu meminta pamannya untuk tidak berbuat sewenan-wenang. Akan tetapi, Raden Ronggo malah melakukan perbuatan yang membuat hati pamannya gondok. Salah satu perbuatan Raden Ronggo yang membuat hati pamannya kesal ialah melubangi batu gentong milik Ki Juru Mertani. 

Penasaran dengan kesaktian anaknya, Panembahan Senopati menitah Raden Ronggo untuk memijat kakinya. Raden Ronggo pun mengiyakan titah ayahnya tersebut. Saat Raden Ronggo mulai memijat, sontak Panembahan Senopati mengibaskan kakinya, yang konon membuat Raden Ronggo terpental jauh. Tak sampai disitu, Raden Ronggo yang dalam pengembaraannya, bertemu dengan seorang pertapa yang bercahaya. Dengan rasa iri hatinya, ia menghampiri pertapa tersebut walau telah diperingatkan oleh prajuritnya. 

Raden Ronggo kemudian melontarkan beberapa pertanyaan kepada sang petapa itu. Namun, pertanyaan Raden Ronggo tak digubris satu pun. Hal tersebut membuat Raden Ronggo marah. Lantas, Raden Ronggo memegang kepala pertapa itu, lalu disungkurkannya ke tanah. Sang pertapa pun mengerang dan hanya menyeringai dengan mulut berbusa. Perlakuan Raden Ronggo itu membuat sang pertapa mati seketika. 

Banyaknya tindak kelaliman yang dilakukan oleh Raden Ronggo, membuat ia dianggap bersalah oleh Kerajaan Mataram. Oleh karena itu, Panembahan Senopati kemudian memberikannya hukuman. Hukuman tersebut berupa pertarungan melawan ular naga. Ular naga tersebut telah banyak memakan korban di Desa Patalan, Bantul, salah satu desa yang terletak di Jalan Parangtritis. Dalam pertarungan tersebut, Raden Ronggo tidak kuasa mengendalikan ular naga. 

Pada akhirnya, Raden Ronggo tidak sadarkan diri dan meninggal akibat pertarungan tersebut. Namun setelah beberapa saat, ular naga tesebut menghilang tiba-tiba tanpa diketahui masyarakat. Ternyata, ular naga tersebut merupakan seekor siluman yang konon ceritanya dikirim oleh Ratu Kidul. Setelah Raden Ronggo meninggal dunia, semua kesalahan yang diperbuat semasa hidupnya dianggap impas. 

Tim Penyusun: Alin Pratiwi, Alifian Adam, Fani Alfianti, Feri Ardiansyah, Sapta Ismindini, Pancar Catur, Lanang Tegar Panggalih, Muhammad Maulana Syarif Hidayatullah
Editor: Donny Agustio
*Tulisan ini merupakan bagian dari serangkaian acara Ekspedisi 2019



Komentar

Posting Komentar