Surga di Punggung Bapak

Oleh: Azizatul Hafidoh
Editor: Stefannus Cagar dan Muhammad Fachrul Rabul

Illustrasi: Eka Widyaningsih


Tuhan mengambil rusuknya untuk menciptakan seorang perempuan yang kemudian akan dijadikan jodoh untuknya. Lalu mengambil sebagian daging dan darahnya untuk kemudian dijadikan keturunannya. Dia adalah Bapak, lelaki dengan keringat lebih asin dari air laut, lelaki yang dibekali naluri yang lebih tajam dari sebilah pedang, lelaki yang hatinya terus menggumam walau mata terpejam. Bapak, dia semakin menua dan membungkuk termakan usia. Namun punggungnya tetap kokoh dan kuat untuk memanggul beban kehidupan keluarga. Fisiknya boleh saja melemah, namun semangat jiwanya senantiasa terus berderang. Jika memang benar ada surga dibawah telapak kaki seorang Ibu, maka tidak ada salahnya jika ada surga dipunggung seorang Bapak. Kasih sayang dan ketegarannya bagaikan karang yang dihempas ombak. Ia tak kenal apapun selain menua dan membesarkan anak-anaknya. Dan waktu tanpa aba-aba menggerus usianya.

***

Pagi ini seperti pagi biasanya, sang Bapak menghantar anak lelakinya  ke sekolah. Sembari berjalan, sang Bapak mendudukan anaknya di pundak.

“Bapak, lihat orang yang mencangkul sawah itu, kenapa wajahnya berkerut, ya? Apa karena mandi terlalu lama?” tanya sang anak melihat laki-laki tua yang sedari tadi berdiam sambil berjalan pelan di atas pematang sawah.

“Wajahnya berkerut itu karena dia adalah seorang lelaki, bukan karena mengkerut seperti ketika kamu terlalu lama bermain air.”

“Berarti menjadi lelaki itu buruk?” Tanya anak laki-laki kecil itu pada Bapaknya lagi.

“Kenapa buruk?” sang Bapak balik bertanya dengan nada yang agak menukik karena kaget mendengar pertanyaan anaknya.

“Karena lelaki memiliki wajah yang berkerut, aku tidak suka itu, jadi aku tidak mau menjadi seorang lelaki yang berkeriput”. Kata anak itu lagi dengan wajah polosnya.

Mendengar jawaban anaknya, sang Bapak tersenyum, “Bukan seperti itu maksud Bapak. Kerutan di wajah seorang lelaki itu menjadi bukti bahwa lelaki itu senantiasa berusaha sekuat tenaga untuk mencari serta menemukan cara agar keluarganya dapat bahagia.”

Anak itu terdiam sejenak, matanya memandang lurus melihat hamparan padi di pemantang sawah yang sudah mulai merunduk. Terlihat kerutan didahinya sambil mengagaruk rambut lusuhnya yang sebenarnya tidak gatal.

“Aku ingin memiliki kerutan seperti itu, Bapak.” celetuknya tiba-tiba.

“Kenapa? Bukankah berkerut-kerut itu jelek?” tanya sang Bapak.

“Aku ingin memiliki kerutan, aku ingin menjadi lelaki yang kuat dan selalu berusaha memikirkan keluarga dan orang lain, Bapak.”

“Oh itu sangat bagus, menjadi seorang lelaki memang harus bertanggung jawab, dan memang begitu kodratnya.”

“Tapi apakah aku bisa, Bapak?”

“Tentu saja bisa, karena kamu adalah anak yang baik dan pintar.” Jawab lelaki itu sambil tersenyum lebar. Dia tidak mengira bahwa anaknya sudah sepintar ini. Siapakah yang mengajarinya? Apakah guru di sekolahnya yang mengajarinya? Ah, barangkali benar, karena dia sendiri pun jarang sekali mengajarinya untuk belajar.

“Bapak?”

“Ya.”

“Kalau kakek itu kenapa?” tunjuk anak itu pada seorang kakek, yang sedang berjalan tidak jauh mereka.

“Oh, itu karena kekek sudah tua.”

“Kenapa terlihat buruk ?”

“Apanya yang buruk?”

“Tubuhnya, kenapa tubuhnya bengkok.”

“Membungkuk maksudmu?” Anak itu mengangguk-anggguk seolah ia paham arti dari kata membungkuk itu, dan paham juga penggunaannya dalam sehari-hari.

“Iya, karena kakek itu sudah tua, jadi jalannya membungkuk.”

“Aku tidak suka kakek tua, Bapak.”

“Karena tubuhnya bengkok dan jalannya membungkuk?”

“Iya.”

Laki-laki itu menarik nafas dalam-dalam dan kemudian menghembuskannya. Ia mungkin sudah agak kesal dengan ocehan anaknya. Atau mungkin sedang berusaha untuk sabar dengan ribuan pertanyaan yang sedari tadi diberikan padanya.

“Sebenarnya taukah kamu, kenapa tubuh kakek itu bengkok dan membungkuk? jawabannya sama seperti kenapa lelaki memiliki kerutan di wajahnya.”

“Karena dia seorang lelaki, Bapak?”

“Iya, seorang lelaki yang perkasa berbahu kuat dan berotot, berusaha keras membanting tulang menghidupi keluarga. Seorang lelaki juga harus bisa berdiri bagaikan tiang penyokong, itulah sebabnya punggungnya membungkuk. Beban yang dibawanya terlalu berat.”

“Bapak, aku juga ingin mejadi lelaki seperti itu.”

“Benarkah? Itu sangat bagus."

Percakapan keduanya terhenti ketika mereka sampai di halaman sekolah dasar. Sang Bapak menurunkan anaknya yang dari tadi duduk di pundak. Setelah anak itu mencium punggung tangan Bapaknya, dia berlari masuk ke kelasnya.

“Ternyata anakku sekarang sudah besar dan lebih pintar dariku, kenapa anak sepintar itu bisa menjadi anakku. Mungkin akan sia-sia kemampuannya jika hidup denganku.” Tatapnya nanarnya menyusuri halaman sekolah, “Lastri, andaikan kau masih bisa menemani hidup kami, mungkin anak kita akan bahagia, pun aku juga.” Sang Bapak melangkah kembali untuk memeras keringat.
  ***



Komentar

Posting Komentar