Jenderal Soedirman SANG SERILYAWAN

jendral Soedirman

Jenderal Soedirman



SANG SERILYAWAN

Oleh: DEVI  ELOK

Jenderal Besar TNI Anumerta Soedirman adalah  salah satu tokoh Pahlawan  Nasional Indonesia yang berjuang pada masa Revolusi Nasional Indonesia. Dalam sejarah perjuangan Indonesia, ia tercatat sebagai Panglima dan Jenderal Republik  Indonesia  pertama dan termuda. Jenderal Soedirman lahir di Bondas Karangjati, Rembang Purbalingga pada 24 Januari 1916. Ketika usianya 31 tahun ia sudah menjadi seorang Jenderal, meskipun pada saat itu ia sedang menderita sakit paru-paru. Jenderal Soedirman hidup dan besar dalam lingkungan yang sederhana. Ayah Jenderal Soedirman bernama Karsid Kartowirodji yang bekerja di pabrik gula milik Pemerintahan Hindia Belanda di Kalibogor, Banyumas, dan ibunya memiliki nama Siyem merupakan keturunan asli Rembang. Sejak umur delapan bulan, ia diangkat menjadi anak oleh R. Tjokrosoenaryo seorang asisten Wedana atau camat di Bodaskarangjati. Istri dari R. Tjokrosoenaryo masih ada hubungan saudara dengan ibu kandung Jenderal Soedirman. Pengangkatan anak ini memang sudah lama dirundingkan bersama Karsid dan Siyem. Keduanya mengikhlaskan anaknya diangkat oleh keluarga saudaranya itu (Farhan MH, 2010: 10). Soedirman diangkat anak oleh R. Tjokrosoenaryo, sehingga namanya menjadi Raden Soedirman. Ketika Soedirman kecil ia tidak lama tinggal di Rembang, karena ayah angkatnya R. Tjokrosoenaryo  memutuskan untuk pension dini dari jabatan camat dan merencanakan untuk pindah ke Cilacap. Di Cilacap R. Tjokrosoenaryo akan diangkat menjadi penasihat Pengadilan Negeri Cilacap.                      
Sejak masa anak-anak penampilan dan kepribadian Soedirman tidak lepas dari lingkungan keluarga tempat ia dibesarkan. Dalam diri Soedirman terjadi akumulasi dua subkultur, yaitu wong cilik dan priyayi. Soedirman keturunan wong cilik yang diangkat anak oleh priyayi yang menyebabkan perpaduan subkultur tersebut. Ayah Raden Soedirman telah meninggal dunia, ketika ia berusia enam tahun. Hal ini menjadikan Raden Soedirman menjadi anak yang sederhana di bawah bimbingan Ibunya. Meskipun Soedirman diangkat anak oleh Tjokrosoenaryo, ia biasa melakukan pekerjaan wong cilik seperti mencuci piring, mengisi bak mandi dan pekerjaan fisik lainnya. Sedangkan ibu angkatnya, telah mengajarkan Soedirman berbagai budaya adiluhung, seperti adat istiadat, sopan santun, dan menghargai akhlak yang luhur. Ayah angkatnya juga ikut berperan dalam pembentukan diri Soedirman,melalui kisah kisah ksatria dan kebengawanan dalam dunia pewayangan telah menumbuhkan sikap ksatria yang disiplin, pemberani, tegar menghadapi persoalan dan mulai tumbuh juga jiwa pengabdian.                  
Kemudian pada usia tujuh tahun, Raden Soedirman sekolah di HIS ( llandsch Inlandsche School) Gubernemen atau HIS Pemerintah. Soedirman bukan murid yang menonjol dan bukan murid terpandai serta bukan juga murid yang terbodoh. Sejak kelas I sampai kelas V Raden Soedirman bersekolah  dengan lancar, tetapi pada kenaikan kelas VI ia merasa kurang mantap bersekolah di HIS Gubermen. Soedirman ingin pindah ke sekolah lain , keinginan tersebut disampaikan kepada kedua orang tuanya. Akan tetapi, orang tuanya menyarankan agar soedirman tetap bersekolah disana, dan akhirnya Soedirman mengikuti nasihat orang tuanya. Tahun berikutnya  ketika Soedirman kelas VII ia pindah ke Taman Siswa. Taman Siswa merupakan sekolah yang terkenal berjiwa nasional yang tinggi yang didirikan oleh kakak beradik Suwandi dan Suwondo, namun belum genap satu tahun Raden Soedirman belajar disana sekolah Taman Siswa terpaksa ditutup karena kekurangan dana (Farhan MH, 2010:10). Raden Soedirman memiliki niat untuk kembali ke HIS Gubernemen tetapi tidak dapat diterima kembali. Jenderal Soedirman melanjutkan pendidikannya di MULO Wiworotomo Cilacap. Perpindahan Soedirman ke Wiworotomo tidak lepas dari saran gurunya bernama R. Sumingrat Danudiprojo. Menurut pendirinya yaitu R. Sumoyo Yo Kusumo Sekolah Wiworotomo bertujuan untuk menampung anak-anak bumiputra yang tidak memiliki kesempatan melanjutkan sekolahnya di Gubernemen (Sardiman, 2008: 31). Tetapi disisi lain, sekolah Wiworotomo memupuk nilai-nilai kebangsaan dan perjuangan. Di sekolah Wiworotomo, Soedirman memang cepat berkembang dan lebih menonjol, cara berpikirnya juga lebih matang dan dewasa dibandingkan dengan teman teman lainnya. Dalam penguasaan materi Raden Soedirman lemah dalam menulis Jawa, tetapi ia terampil mata pelajaran Aljabar, Ilmu Bumi, Sejarah, Tata Negara, Bahasa Belandan dan pandai mengarang dalam Bahasa Indonesia. Hal ini menjadikan Raden Soedirman menjadi tempat bertanya bagi teman-temannya ketika ada kesulitan dalam memecahkan persoalan, karena ketika Raden Soedirman menjelaskan materi kepada teman-temannya lebih mudah dipahami penjelasannya dari pada penjelasan beberapa guru.  Sehingga, Raden Soedirman dikenal sebagai pembantu guru atau guru kecil.
Selain itu ketika menjadi siswa MULO Wiworotomo, sikap tanggung jawab dan menyenangi berbagai kegiatan organisasi sudah terlihat dalam dirinya meskipun masih remaja. Saat itu, Soedirman aktif dalam organisasi Ikatan Pelajar Wiworotomo dan di dalam dunia kepanduan. Pada awalnya Soedirman mengikuti kepanduan Bangsa Indonesia yang ada di Cilacap, namun ia beralih ke organisasi kepanduan milik gerakan Muhammadiyah yang terkenal dengan nama Hizboel Wathan (HW) (Farhan MH, 2010: 11). Mengenai munculnya kepanduan Hizboel Wathan tidak dapat dilepaskan dari perkembangan kepanduan pada umumnya di Indonesia. Gerakan kepanduan di Indonesia muncul pada masa kolonial Belanda. Saat itu di Belanda berkembang organisasi kepanduan Nederlandsch Padvinders Organisatie (NPO), organisasi kepanduan ini berpengaruh terhadap organisasi kepanduan yang ada di Hindia Belanda (Indonesia). Wawasan dan pengetahuan islam, kedisiplinan, kejujuran, kesederhanaan, kemandirian dan kesetiakawanan membuat Raden Soedirman menjadi anggota HW yang menonjol dan disegani kawan kawannya. Ketika ada pemilihan pimpinan HW Banyumas, Raden Soedirman terpilih menjadi ketua atau disebut Menteri Daerah HW. Disisi lain, Raden Soedirman juga aktif di Pergerakan Muhammadiyah.  Setelah lulus dari MULO ia melanjutkan pendidikannya ke HIK Muhammadiyah Surakarta tetapi tidak sampai satu tahun di sekolah tersebut, Raden Soedirman dijadikan guru professional yang aktif mengajar di HIS Muhammadiyah Cilacap. Karena Soedirman lulusan dari MULO ia tidak berkompeten untuk menjadi guru, tetapi Soedirman ingin mendidik generasi anak bangsa agar mereka memiliki derajat yang sama dengan bangsa bangsa lain termasuk dengan Belanda. Hal itu sudah terlihat ketika Soedirman sekolah di Wiworotomo ketika teman temannya memberinya sebutan guru kecil. Raden Soedirman sangat disenangi oleh murid muridnya karena  kemampuan dalam menyampaikan materi dan juga pengetahuannya yang luas terutama dalam ilmu pengetahuan sosial, Bahasa Belanda dan pengetahuan Agama.                                                                              
 Selama Soedirman di lembaga pendidikan ada tiga guru yang mempengaruhi dalam pembentukan karakternya yaitu Raden Sumoyo yang memiliki pandangan nasionalis sekuler, Raden Moharnad Kholil memiliki pandangan nasionalis islamisme, dan Tritosupono merupakan lulusan dari akademi militer Breda di Belanda. Pendidikan militer Raden Soedirman berawal ketika ia mengikuti pendidikan tentara Pembela Tanah Air (Peta di Bogor). Setelah selesai di pendidikan militer, ia diangkat menjadi komandan Batalyon di Kroya. Saat itu Jenderal Soedirman sering memprotes tindakan tentara Jepang yang sewenang-wenang dan bertindak kasar terhadap anak buahnya. Dalam pertempuran dengan Jepang, ia berhasil merebut senjata pasukan Jepang di Banyumas, itulah jasa pertama kali Jenderal Soedirman sebagai tentara setelah kemerdekaan(Sardiman, 2008:54). Tidak lama dari terbentuknya Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Jenderal Soedirman diangkat menjadi Panglima Divisi V Banyumas dengan pangkat sebagai kolonel. Ketika konferensi TKR tanggal 2 November 1945 ia terpilih menjadi Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia. Ketika Ibukota Negara RI berada di Yogyakarta, Belanda kembali melakukan agresinya yang ke dua setelah sebelumnya menguasai Jakarta. Saat itu, Jenderal Soedirman sedang sakit keadaannya lemah karena paru parunya hanya berfungsi satu.  Saat kondisi kesehatannya mengkhawatirkan seperti itu, banyak pihak yang menyarankan agar ia berhenti untuk bergerilya, tetapi semangat juang beliau tidak dapat dipatahkan oleh siapapun. Belanda pada waktu itu telah menguasai kota Yogyakarta dan Presiden soekarno, wakil presiden serta beberapa anggota kabinet telah menjadi tawanan belanda. Sultan Hamengku Buwono IX menggagas untuk melakukan serangan umum. Rekaman wawancara Sri Sultan dengan radio BBC London tahun 1986 telah ada transkripnya yang sekarang ada di Arsip Nasional (Taufik Adi Susilo, 2010:86). Saat itu Sri Sultan mengatakan bahwa kondisi di luar maupun di dalam negeri sangat mengkhawatirkan setelah Agresi Belanda II yang berhasil menguasai kota Yogyakarta. Di dalam negeri semangat penduduk Indonesia melemah dan di luar negeri melalui Persatuan Bangsa Bangsa (PBB), Belanda telah mengumumkan bahwa Indonesia telah habis. Saat itu Sri Sultan yang menjabat sebagai menteri keamanan mendengarkan perkembangan politik melalui radio (Taufik Adi Susilo, 2010:86). Setelah mendapat informasi, Sri Sultan mengirim surat kepada Jenderal Soedirman untuk meminta izin melakukan penyerangan di pagi hari. Jenderal Soedirman menyetujui permintaan dari sultan dan meminta sultan untuk menghubungi Soeharto yang ketika itu menjadi komandan Wehrkreise III Yogyakarta.  Lettu Marsoedi, komandan Sub Wehrkeise 101 di bawah komando Soeharto ditunjuk oleh sultan untuk menyampaikan surat kepada Soeharto. Malam itu juga Soeharto dan juga Marsoedi tiba di Ndalem Prabeyo. Soeharto di suruh untuk berganti pakaian karena akan menghadap sultan. Setelah berganti pakaian Marsoedi membawa Soeharto bertemu dengan KGPH Prabuningrat, kemudian Soeharto diantar ke Ndalem Prabuningrat untuk menghadap Sultan Hamengku Buwono IX. Selesai bertemu dengan sultan, Soeharto tidak menceritakan isi pembicaraan itu kepada Marsoedi. Selang dua hari dari pertemuan itu , ngarso ndalem meminta Soeharto untuk menyiapkan serangan pada 1 Maret 1949. 
 Sementara di Yogyakarta sedang merencanakan serangan kepada Belanda, saat itu Jenderal Soedirman sedang berada di Pacitan.  Sejak 1 April 1949 sampai 7 Juli 1949 Jenderal Soedirman berada di Pacitan dan menggunakan rumah milik Karsoesoemito seorang bayan dukuh Sobo untuk markasnya (Farhan MH, 2010:39). Meskipun Jenderal Soedirman berada di Pacitan, ia tetap melakukan komunikasi dengan panglima dan komandan diberbagai daerah melalui caraka (kurir). Markas besar Sobo memiliki sender di Balong di lereng gunung Lawu yang dapat berhubungan dengan pesawat pemancar di Bukit tinggi untuk tetap berhubungan dengan PDRI di Sumatera, pak Simatupang di Dungkorong, pemancar AURI di Playen yang merupakan tempat markas pak Nasution, pemancar pak Sungkono di Banjulan dan pemancar pemancar lainnya di Jawa Barat(Farhan MH, 2010:40). Selain itu, Jenderal Soedirman juga dapat berkomunikasi dengan luar negeri seperti di Delhi lewat Ranggon. Dari markasnya yang ada di Sobo, panglima Soedirman juga memantau perkembangan politik yang terjadi di tanah air, seperti memantau tentang serangan umum 1 Maret di Yogyakarta. Dalam rangkaian serangan itu menurut Harsono Cokroaminoto, Jenderal Soedirman mengirim tiga orang utusan khusus yaitu kapten Cokropranolo, Dr. Suwondo dan Cokroaminoto sendiri untuk pergi ke Yogyakarta bertemu dengan Sultan Hamengku Buwono IX. Tujuannya untuk mengetahui situasi sekaligus ikut mempersiapkan pasukan gerilya yang ada di kota agar bisa membuat rencana penyerangan tersebut (Sardiman, 2008:67). Saat memasuki kota Yogyakarta, tiga orang utusan jenderal Soedirman tadi berpencar mencari jalan sendiri-sendiri. Jenderal soedirman juga sudah memberikan tugas sendiri-sendiri untuk utusannya tadi, Cokropranolo diberi tugas untuk langsung menemui Sri Sultan Hamengku Buwono, Dr. Suwondo ditugasi untuk mencari obat obatan  untuk Soedirman dan juga pasukannya. Sedangkan Harsono Cokroaminoto ditugasi untuk mempersiapkan lascar-laskar , terutama yang dulu bergabung dalam lascar pemuda pemuda islam.  Akhirnya, pada 1 Maret 1949 meletuslah serangan umum yang dikomandani oleh Soeharto.

Referensi:
 Farhan MH, Panglima Besar Jenderal Soedirman, Yogyakarta, Bintang Cemerlang: 2010.
Taufik Adi Susilo, Soedirman, Yogyakarta, Garasi: 2010.
Sardiman, Guru Bangsa  Sebuah Biografi Jenderal Soerdirman , Yogyakarta, Ombak, 2008.


Komentar

Posting Komentar