Indonesia Mendayung di antara dua Karang


“Mendayung di antara dua karang” itulah yang digagas oleh Moh. Hatta dalam politik Internasional Indonesia. Maksud dari konsep itu bukanlah menjadikan Indonesia memilih jalan tengah antar dua blok yang berpengaruh (Komunis dan Liberal), tetapi politik internasional Indonesia didasarkan tanpa sentimen dan lebih memperhatikan aspek realitas dan kepentingan negara. Hal ini pernah dikemukakan oleh Hatta dalam pidatonya sebagai  Perdana Menteri Republik Indonesia di hadapan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) pada 2 September 1948, “Tiap-tiap orang diantara kita tentu ada mempunyai simpati terhadap golongan ini atau golongan itu, akan tetapi perjuangan bangsa tidak bisa dipecah dengan menuruti simpati saja, tetapi hendaknya didasarkan kepada “realitiet”, kepada kepentingan Negara setiap waktu. ”Inilah yang dipraktikkan Indonesia  pada tahun 1959-1960, ketika Soekarno melontarkan Manipol-USDEK dan NASAKOM untuk mempertahankan revolusi Indonesia. Indonesia menolak secara tegas Neo-Kolonialisme dan Neo-Liberalisme (Nekolim) yang mulai mengepung Indonesia, Malaysia dengan sokongan Inggris, Australia, dan New Zealand.

Kondisi Politik Indonesia Tahun 1959-1960
Di awali Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Indonesia memberlakukan kembali UUD 1945 atas “kegagalan” lembaga pembuat UUD. Salah satu isinya adalah dengan diberlakukannya kembali UUD 1945 untuk menggantikan UUDS 1950 yang merupakan perwujudan dan usaha pencarian bentuk sistem pemerintahan dan politik untuk diterapkan di Indonesia (Zulfikar, dkk: 1989). Sistem inilah yang kemudian diwujudkan ke dalam Demokrasi Terpimpin (Guided Democracy). Hal ini ditegaskan dengan Soekarno dalam pidato kenegaraannya saat peringatan Proklamasi Kemerdekaan pada Agustus 1959 dengan judul  “Penemuan Kembali Revolusi Kita” (Discovery of Our Revolution). Pidato ini menjadi amat penting ketika dirumuskan menjadi Garis Besar Haluan Negara (GBHN), yang dikenal lebih luas dengan istilah Manifestasi Politik (Manipol). Sejak itulah Demokrasi Terpimpin benar-benar menjadi sistem politik di Indonesia. Hal ini diperkuat dengan penetapan Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dalam sidang pada 23-25 September 1959 yang memutuskan Manipol itu sebagai GBHN.

Konsekuensi untuk mewujudkan demokrasi terpimpin haruslah mempunyai basis masa dalam pemerintahan guna memberikan legitimasi kekuasaan. Langkah yang dilakukan Soekarno adalah membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hasil pemilu 1955, dan membentuk DPR Gotong Royong dengan memasukkan sekian banyak unsur kekuatan politik Indonesia pada saat itu, di antaranya adalah kelompok nasionalis non-islami seperti; PRI, Parkindo, IPKI,  kekuatan nasionalis-Islami seperti; NU, PSII, Perti. Kekuatan lain yang berhaluan Marxis seperti PKI dan Murba, terdapat juga unsur-unsur ABRI dan golongan fungsional. Begitu pula dengan partai-partai yang berasaskan agama Kristen, seperti Partai Kristen Indonesia dan Partai Katholik Indonesia.

Menegaskan tentang perwujudan politik dalam Manipol USDEK dan Nasakom, Soekarno dalam pidato kenegaraan berikutnya, pada 17 Agustus 1960 yang berjudul “Jalannya Revolusi Kita” atau disingkat Jarek menginginkan rakyat Indonesia untuk bersatu melawan Nekolim. Soekarno ingin menjadikan Indonesia sebagai negara pemimpin yang menghalau paham Nekolim beserta tindakan-tindakannya, yang di antaranya sedang dihadapi Indonesia adalah pembentukan Persekutuan Malaya dan pembebasan Irian Barat. Dalam pidatonya tersebut Soekarno menitikberatkan jalannya revolusi bangsa Indonesia harus didasari dengan 5 aspek penting yakni Undang-undang Dasar 1945, Sosialisme ala Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Bangsa. Ditambahkan dengan keterangan melalui pidato pada tanggal 19 Agustus 1960, “Suatu Revolusi hanya dapat berlangsung dan berakhir secara baik jika ada satu pimpinan revolusi yang revolusioner, satu ideologi dan Konsepsi Nasional yang tujuan revolusioner jelas, tegas, dan terperinci.”
PKI dengan legalitas Manipol USDEK dan Nasakom memanfaatkan kesempatan tersebut dengan baik untuk melaksanakan strategi “ofensife revolusisoner”. PKI dengan tujuan mendekatkan diri dengan Soekarno gencar memprogandakan semboyan “Siapa anti Nasakom adalah anti Bung Karno”, dan nyatanya strategi tersebut berhasil dengan menjabatnya H. Lukman menjadi Menteri Negara, dan Henk Ngantung menjadi Wakil Gubernur di Jawa.

Gelora Pembebasan Irian Barat dan “Ganyang Malaysia”
Wujud dari anti Nekolim tampak dari peristiwa pembebasan Irian Barat dan konfrontasi Indonesia-Malaysia. Seperti yang disebutkan sebelumnya, Indonesia ingin menghapus bentuk-bentuk Nekolim di dunia, termasuk Malaysia yang pada tahun 1961 membentuk Federasi Malaysia dengan menggabungkan Brunei, Sabah, dan Serawak. Hal ini dikarenakan Indonesia menganggap Federasi Malaysia hanyalah negara boneka Inggris yang ingin menghalang-halangi revolusi Indonesia. Konfrontasi Indonesia ini menjadi aksi politik setelah Menteri Luar Negeri RI pada 20 Januari 1963menyatakan; “Presiden telah memutuskan bahwa mulai saat ini kita akan menjalani suatu politik konfrontasi terhadap Malaka (sebutan lain untuk Malaya). Hal ini tidak berarti bahwa kita akan berperang, tidak harus demikian. Sayapun merasa memang sudah seharusnya kita melancarkan politik konfrontasi. Yang perlu disesalkan adalah politik konfrontasi semacam ini harus dilancarkan terhadap sebuah negeri Asia (Tenggara), negeri tetangga kita sendiri.”

“Bukan saja golongan kaum buruh dan kaum tani, tetapi semua golongan seia-sekata berdiri di belakang tuntutan, memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah kekuasaan Republik” itulah kalimat yang dikatakan Soekarno sebagai penyambung lidah rakyat dalam Rapat Rakyat yang diselenggarakan oleh Panitia Aksi Pembebasan Irian Barat pada 18 November 1957 di Lapangan Banteng. Pernyataan ini sebagai sebuah penegaskan dan tanggapan atas  pernyataan Belanda yang menganggap pembebasan Irian Barat hanyalah keinginan dari Soekarno bukan rakyat Indonesia. Bahkan karena ketidakpuasan rakyat kepada pemerintah dalam usaha memperjuangkan Irian Barat melalui perundingan, masyarakat dengan inisiatif Badan Kerja Sama Pemuda Militer (BKS-PM) membentuk Front Nasional Pembebasan Irian Barat (FNIB) yang terbentuk tahun 1958 yang berkegiatan untuk mencari dana dalam perjuangan pembebasan Irian Barat (Shalfiyanti: 1989).

Indonesia Mulai Mendayung
Demokrasi terpimpin yang dideklarasikan oleh Soekarnosetelah melihat terlalu lamanya Konstituante mengeluarkan Undang-undang baru telah memperkuat posisi Soekarno secara absolut. Di satu sisi lain, hal ini berdampak pada kewibawaan Indonesia di forum Internasional yang dilihatkan oleh berbagai manuver yang dilakukan Soekarno serta munculnya Indonesia menjadi kekuatan militer yang di perhitungkan di Asia. Lantas mengarah ke manakah politik Luar Negeri yang dinahkodai Soekarno, setelah manuver poltik dalam negeri dengan menyusun Manipol USDEK, Nasakom, dan RESOPIM?Jika kita kembali pada konsep yang dicetuskan Hatta, kita akan melihat kecenderungan politik Luar Negeri Indonesia yang selalu melihat realitas demi terciptanya kesejahteraan dan tercapainya kepentingan bangsa.

Pertama, pembentukan poros-poros. Mungkin Anda sudah tidak asing lagi mendengar istilah poros Jakarta-Peking. Tahun 1950 Indonesia adalah negara pertama yang mengakui RRC di bawah pemerintahan Komunis, dan kedekatan itu ditindaklanjuti dengan pengiriman Arnold Mononutu sebagai Duta Besar RI untuk Cina yang dibarengi dengan penandatanganan nota kerjasama RI-Cina. Kemudian pada awal 1960-an terciptalah poros Jakarta-Peking yang kemudian berkembang menjadi poros Jakarta-Peking-Pyongyang. Ketika kita menilik kondisi Indonesia pada saat itu, poros Jakarta-Peking-Pyongyang tidak semata-mata tercipta karena kerjasama ekonomi, tetapi Indonesia berusaha untuk menggandeng Korea Utara pimpinan militer Kim Il Sung serta China yang dipimpin Mao Zedong dalam kebijakan konfrontasi Indonesia-Malaysia. Memang agresifitas politik Luar Negeri Indonesia tidak bisa diputuskan dari politik Dalam Negeri yang gencar mendengunkan Anti-Nekolim dan lebih mengarah ke Uni Soviet. Hal ini juga dilakukan Indonesia dengan Kamboja dan Vietnam. Dalam pidatonya pada peringatan hari kemerdekaan, Soekarno mengumumkan Poros Jakarta-Phonmpenh-Hanoi-Bejing-Pyongyang yang anti imperialis (Ricklef: 2005).

Kedua, Gerakan Non-blok.Atau dalam bahasaInggris diistilahkan dengan Non-Aligned Movement (NAM) yang diprakarsai oleh lima negara yaitu Indonesia (Soekarno), Mesir (Gamel Abdel Naser), India (Jawaharlal Nehru), Ghana (Kwame Nukrumah), dan Yugoslavia (Josep Bros Tito). Pertemuan pertama dilaksanakan di Beograd yang dihadiri oleh 25 anggota, sebelas dari Asia dan Afrika dan tiga negara sisanya adalah Kuba, Siprus, dan Yugoslavia. Organisasi ini didedikasikan untuk melawan kolonialisme, imperialisme, neo-kolonialisme, apartheid, zionisme, agresi militer, dan semua yang berhubungan dengan kependudukan, interfensi, dan hegemoni negara lain (wikipedia.org).

Ketiga, Politik Mercusuar adalah salah satu politikyang dijalankan Soekarno pada masa demokrasi terpimpin yang bertujuan menjadikan Indonesia sebagai mercusuar yang menerangi jalan bagi New Emerging Force (Nefo) atau kekuatan yang baru tumbuh di dunia. Pembangunan pun digencarkan, di antaranya pembuatan jalan, tugu Monas, Stadion Gelora Bung Karno, toko serba ada “Sarinah” di Semanggi, dan menyelenggarakan Game of the New Emerging Force (Ganefo). Semua ini dilakukan untuk menjadikan Indonesia bisa dipandang oleh dunia, seperti dituliskan Cindy Adams dalam biografiyang berjudul “Soekarno Penyambung Lidah Rakyat”.

Itulah yang maksud Hatta dalam istilah “mendayung di antara dua karang”. Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan dan kebebasan bangsa jangalah dijadikan obyek antara dua kubu yaitu Barat (Liberal) atau Timur (Komunis). Tetapi Indonesialah yang menjadi subyek yang menentukan karang manakah yang akan dituju atau bahkan untuk memilih jalur tengah dengan tidak bertujuan ke salah satu dari dua karang tersebut, dengan tetap memperhatikan relalitas kondisi bangsa yang bertujuan menyejahterakan dan memakmurkan Bangsa Indonesia.

Komentar

  1. I think the political strategy in Soekarno-Hatta era, that called "men saying diantara dua karang" was more impressive than nowadays. It was a good political strategy to build relations with other countries (western /eastern blocks ) with regarding the nation's situation. I give my respect to our biggest national figures(Soekarno-Hatta).

    BalasHapus
  2. I think the political strategy in Soekarno-Hatta era, that called "men saying diantara dua karang" was more impressive than nowadays. It was a good political strategy to build relations with other countries (western /eastern blocks ) with regarding the nation's situation. I give my respect to our biggest national figures(Soekarno-Hatta).

    BalasHapus
  3. Saya mengapresiasi tulisan-tulisan disansekerta ini, bolehkah kami anak sastra FBS UNY untuk berkunjung dan diskusi di sekre panjenengan?

    BalasHapus

Posting Komentar